Mencari Pesan

Setiawan Saputra
Chapter #34

Tiga Puluh Lima

“Yakin mau ngejar kasus itu?”

“Ini peristiwa penting, sayang kalau nggak dikejar, Nis.”

Lantas aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Denis, aku langsung mendapat tatapan yang tidak mengenakan darinya. Ia pun mulai lagi, mulai berargumen denganku, “Itu temanmu sendiri lho. Kok tega sih?” Begitulah katanya.

Lantas aku menjawab, “Tega gimana? Aku juga ingin tau, kenapa Pieter bisa tersangkut kasus itu?”

“Tapi itu temenmu sendiri, Dran. Tega-teganya kamu meliput teman yang terkena kasus seperti itu.”

“Tapi aku bisa tutup identitasnya, kan? Lagian orang-orang yang baca berita itu mana kenal sama Pieter?”

Memang sebelum itu, aku segera menghubungi salah satu anggota kepolisian yang aku kenali, untuk menanyakan informasi soal penyalahgunaan narkoba. Dan benar kata Pak Kristian selaku Kabidhumas Polda, pihaknya sedang melaksanakan penangkapan penyalahgunaan Narkoba. Katanya kasus itu sangat besar karena menyangkut berbagai wilayah.

“Ada yang dari Solo, Semarang, ada juga yang dari Sidoarjo,” katanya begitu, “Di Jogja ada dua tersangka yang menjadi buruan, salah satunya berlokasi di Sosromenduran.” Benar itu daerah kos-kosanku, dan aku masih tidak menyangka Pieter salah satunya.

“Besok aku mau ke Polda, ada perskon di sana.”

Mendengar ucapanku, Denis pun langsung berkata, “Tega kamu, Dran. Menyebarkan aib temanmu sendiri.”

Aku sedikit tertawa karena ucapannya, aku sendiri tidak bisa memahami apa maksud perkataannya itu, “Tujuanku hanya memberitakan soal kasus penyalahgunaan narkoba, Nis. Bukan menyebarkan identitas orang.”

“Ternyata gitu ya, pekerjaan wartawan.” Denis berdecak sambil menggelengkan kepala kumelihatnya, “Hanya mengandalkan totalitas kerja, tidak memandang siapa yang menjadi objek beritanya. Kalau misal keluargamu terkena kasus yang memalukan. Apa kamu tega meliputnya, Dran?”

Oke, asumsinya itu sudah kelewatan. Aku tidak lagi membantahnya, tidak mau ambil pusing segera aku membakar sebatang rokokku yang sedari tadi ada di tanganku. Aku malas beradu argumen dengannya.

“Makanya, aku males punya teman wartawan. Kelakuannya seperti itu ternyata, nggak punya etika, nggak punya hati nurani.”

“Maksudmu apa, Nis?” Ini benar-benar kelewatan! Perkataan itu seperti menyenggol sisi sensitif emosiku, yang membuatku benar-benar tersinggung, “Kok kamu nyalahin pekerjaanku?”

Selanjutnya aku dan Denis pun langsung beradu argumen, saling melempar kata, saling menyalahkan. Aku menolak asumsinya yang dongkol itu. Kok bisa-bisanya ia berasumsi pekerjaanku tidak punya hati nurani, dan bla.. bla.. bla.. Hingga tanpa aku sadari sendiri, Shahrul yang ada di antara perdebatan kami membuatnya muak.  

Udah dong, Wooyy!” Ia pun berteriak, menghentikan perdebatan kami, “Kalian nggak tau situasinya sekarang?” Shahrul dengan suara besarnya yang melengking, seketika membungkamku dan Denis. Kini ia berdiri, berkacak pinggang, seraya memperhatikan aku dan Denis secara bergantian.

“Aku cuma ngingetin Badran.”

Ngingetin apa? Seakan-akan kamu nyalahkan kerjaanku, Nis!” Jawabku masih menolak asumsinya yang dongkol itu.

Lihat selengkapnya