Di pagi harinya, aku sudah bersiap-siap untuk kembali ke meja redaksiku. Entahlah, apakah aku masih bekerja di dalam kantor, atau aku sudah diperbolehkan untuk keluar, dan bisa pulang ke kosan. Aku rindu dengan kosanku, juga aku ingin sekali bertemu Eliza di kafenya. Walau satu hari saja aku tidak bertemu dengannya, aku sungguh sangat merindukannya, rasanya ingin sekali terus bersama dia.
Kali ini aku datang lebih awal di banding yang lain, empat puluh lima menit sebelum semuanya datang, aku sudah berada di meja redaksiku. Sudah tenggelang dalam tulisan-tulisan, menulis artikel untuk terbitan mingguan.
Tak lama akhirnya, Dwi, Andika, dan Pipah datang secara berangsuran. Menyapa selamat pagi tak terlupakan sebagai budaya di kantor itu. Dwi dan Andika menayakanku soal bagaimana menginap sendirian di gedung megah itu.
Aku menjawab, “Biasa aja, ya paling nggak kesepian, ngeasa terkurung karena nggak bisa kemana-mana.”
“Nggak ada gangguan-gangguan dari makhluk tak kasat mata, kah?” tanya Dwi.
“Apa-apaan nih makhluk tak kasat mata. Nggak ada lah!” jawabku sambil tertawa.
Memang aku sudah biasa tidur di berbagai tempat sendirian, tidak ada masalah bagiku. Tidur di rumah sakit sendiri tidak ada yang nunggu juga sudah berkali-kali aku alami, tidur di emperan toko juga udah pernah. Ya, selama itu nggak ada masalah apa-apa. Cuma, lebih nyaman tidur di rumah sendiri.
Tak lama kami berbincang sana-sini membahas berbagai hal, Mas Chilmi sang redaktur akhirnya datang juga. Kedatangannya itu membawa kabar baik untukku katanya, “Ada dua kabar baik untukmu, Dran.”
Aku penasaran, lantas bertanya, “Apa itu, Mas?”
“Kabar pertama.” Mas Chilmi meletakkan Koran Jogjapolitan terbitan pagi itu. Terdapat di halaman headline news, ada salah satu berita tulisanku yang berjudul ‘Polda DIY Bongkar Pengedaran Sabu dan Ekstasi di Jogja-Solo.’
Oke, untuk kabar yang pertama itu aku senang melihatnya, meskipun buka pertama kalinya. Sudah ada beberapa kali berita yang aku tulis masuk headline news, namun aku masih bangga dengan hal itu.
“Terus, kabar kedua?” Aku tanya lagi, karena kabar baik pertama itu sudah biasa aku dapatkan.
“Kabar kedua… ” Mas Chilmi menggantukan ucapannya. Aku dibuat semakin penasaran karenanya. Sejenak aku melihat Dwi, Andika, dan Pipah hanya tersenyum menatapku. Apakah kabar itu paling spesial?
“Pihak kepolisian sudah menggerebek, menyegel kelab malam illegal itu, dan menangkap pelaku-pelaku yang menyerangmu, Dran. Mereka sekarang udah ditahan. Tapi… ” Lagi-lagi Mas Chilmi menggantungkan ucapannya, kali ini aku dibuat semakin penasaran ditambah rasa cemas.
“Sang pemilik kelab belum ditangkap.” Akhirnya sang redaktur menuntaskan ucapannya. Ruangan itu hening seketika.
“Kenapa Mas Chilmi tidak memberi tahuku soal penangkapan itu? Lantas siapa yang meliput beritanya? Atau jangan-jangan tidak ada sama sekali?” Aku bertanya dengan nada yang kecewa.
“Kamu jangan mikirin itu, Dran!” Mas Chilmi kembali menegaskan, “Kemarin malam Andika yang terjun, sengaja aku menugaskan dia. Soalnya kalau aku menyuruhmu terjun, keadaanmu sendiri masih belum aman.”
“Tapi mereka sudah pada ditangkap, masa aku masih belum aman juga?” tanyaku lagi.
“Gini, Dran,” Dwi membantu Mas Chilmi untuk memberi penjelasan kepadaku, “Memang semuanya sudah diamankan, tapi si kepalannya itu lho masih belum ditangkap. Itu bukan orang sembarangan pastinya, ia pasti masih punya anak buah lagi untuk kembali mengejarmu.”
“Terus gimana? Hari ini aku masih tetap ditahan di sini, atau boleh keluar?” tanyaku lagi.