Keesokan paginya, kabar baik menyambutku di meja redaksi. Kabar baik itu; pemilik kelab malam ilegal yang juga menjadi otak pelaku utama teror dan penyerangan terhadapku, kini sudah diamankan. Petugas kepolisian menjemputnya di Semarang tempat kediamannya.
Kabar itu datang pagi sekali, saat Mas Chilmi sang redaktur baru saja tiba membawakan kabar tersebut, “Nanti ada sidang, kamu harus hadir di pengadilan, dan untuk liputanmu hari ini Andika yang handle.”
Lantas aku bertanya, “Nanti aku sama siapa, Mas?”
Kemudian Mas Chilmi menjelaskan, “Aku juga hadir di sana, Dran. Kamu jangan khawatir, ada Mas Wildan, dan teman-teman wartawan dari organisasi, juga kita sudah punya kuasa hukum yang pastinya nanti berpihak kepada kita. Barang bukti yang didapatkan teman-temanmu, sudah diserahkan kepada kuasa hukum kita, Mas Wildan yang ngurus semuanya.”
“Oke, Mas.” Aku mengangguk, menerima saja apa yang sudah dijelaskan. Berarti ini aku hanya menunggu bagaimana hasilnya nanti. Sungguh sampai sini aku masih tak menyangka bisa mendapat kasus sebesar itu di pekerjaanku.
“Jangan khawatir, Dran. Wartawan tak perlu cemas atau cengeng untuk menghadapi masalah seperti ini. Kamu tidak terbukti salah.” Sekali lagi Mas Chilmi memberi simpati untukku, ia memegang bahuku menenangkan aku, “Kasus ini akan segera berakhir.”
***
Dari sidang yang aku ikuti, aku baru tahu itu pelaku adalah seorang pengusaha. Dia mempunyai banyak usaha restoran yang berada di berbagai wilayah pulau Jawa. Salah satunya di Jogja, yang mana restoran tersebut menyembunyikan hiburan malam tak berizin di lantai dua.
Karena menurutku kelab malam tak berizin itu sangat membahayakan, di dalamnya aku temui barang-barang terlarang. Maka dari itu aku berhak untuk mengungkapkan semua itu di media koranku.
“Saya merasa terganggu atas tulisan tersebut. Restoran yang tertulis di dalam koran, jelas itu usaha milik saya,” katanya ketika dimintai keterangan.
“Tindakan itu jelas merugikan tersangka, Yang Mulia. Karena itu menyangkut usaha yang dimiliki.” Pengacara yang berada di pihak pengusaha itu menjelaskan.
Sedikit tentang tulisanku berjudul; Ruang Remang di Balik Restoran Mewah mengungkapkan fakta-fakta di baliknya. Di dalam aku menemukan minuman beralkohol yang dijual di dalam sana, perjudian, obat-obatan terlarang juga terjual bebas di sana, dan perempuan-perempuan yang menjual dirinya.
“Tersangka telah terbukti bersalah dengan izin yang ilegal. Perizinan itu bukan untuk hiburan malam, melainkan restoran dan rumah makan, Yang Mulia. Ditambah lagi bukti yang telah kami dapatkan dari restoran tersebut, kami mendapatkan minuman beralkohol yang dijual secara bebas, perjudian, obat-obatan terlarang, dan telah terbukti mengambil mata pencaharian dalam kegiatan cabul yang dilakukan oleh orang lain. Juga tersangka telah terbukti melancarkan perencanaan menyerang seorang wartawan dengan tindakan kekerasan.”
Persidangan itu masih berlangsung, kedua pihak saling melemparkan argumen berserta pasal-pasalnya, mengadu, memberikan bukti, dan pembelaan.
“Berita itu tidak terbukti melanggar kode etik, karena menurut saya sah-sah saja. Berita itu layak disajikan kepada masyarakat, tidak ada tulisan yang mengada-ada, semuanya sesuai fakta.”
Hingga akhirnya hakim telah memvonis tersangka menjadi terdakwa, dengan pasal perizinan gangguan yang ilegal, peredaran minuman beralkohol, menyelenggarakan perjudian dengan sengaja, menjual Narkotika Golongan III, mengambil mata pencaharian atas kegiatan cabul yang dilakukan oleh orang lain, ditambah tindakan pidana kekerasan terhadap wartawan.
Aku bisa dibuat lega dengan pernyataan hakim, itu artinya aku telah memenangkan kasus itu. Aku puas medengar keputusan hakim yang telah memvonis hukuman yang maksimal untuk sang pemilik kelab malam itu, karena selama itu dialah salah satu orang yang terus menggangguku.
Dan, aku telah bebas dari segala ancaman yang membahayakan diriku sendiri. Aku tidak takut lagi ada orang yang mengintaiku kemana saja, mengancamku, dan menyerangku tiba-tiba dengan jumlah yang lebih banyak, juga membahayakanku.
***