Bagaimana dengan Eliza? Akhir-akhir itu aku jarang sekali berhubungan dengannya, mungkin saat itu aku dan dia sama-sama sibuknya. Sehari-hari hubungan kami hanya sebatas chat, itu pun singkat hanya sekadar menanyakan kabar, lantas pamit dengan kesibukan masing-masing.
Kala itu tugas liputan selesai, aku ingin segera bertemu dengan Eliza. Aku sangat merindukannya. Tak biasanya setelah liputan siang aku kembali ke kantor untuk istirahat, hari itu aku membelokkan motorku ke Kafe Rembulan.
Setibanya di kafe, lagi-lagi aku tidak menemukan Eliza. Padahal aku ingin sekali bertemu dengannya, ada banyak yang ingin aku bicarakan padanya. Soal masalah-masalah yang menimpaku, dan aku ingin duduk nyaman bersamanya tanpa harus membicarakan masalah.
Lantas aku mendengar sebuah jawaban yang membuat aku tidak bisa berpikir positif, “Tadi keluar sih, Mas. Sama Mas Hamdi. Ada keperluan di kafe cabangnya.” Itu jawaban dari Dinda atas pertanyaanku.
“Berdua?” tanyaku
“Iya, Mas. Tadi naik mobilnya Mas Hamdi.”
Dari situlah aku sudah tidak bisa lagi berpikir positif, ada rasa-rasa aneh yang menjalar dari hati hingga merasuk ke otak. Kenapa dia harus sama Hamdi? Kenapa tidak sama aku? Dan kenapa tidak ada pemberitahuan sama sekali soal itu? Tidak bisa aku memahami, segeralah aku memesan minuman seperti biasa, dan mencari tempat duduk favoritku, meja bagian ujung belakang.
Aku menunggu kehadirannya, menunggu kabarnya, juga menunggu jawaban di mana dia berada bersama pria itu? Sempat aku menyibukan diri dengan tulisan-tulisan yang ada di notebook-ku. Tapi semua itu masih tidak bisa mengusir rasa resahku, malah semakin membuatku kacau.
Tak lama setelah itu, pandanganku tertarik dengan kemunculan Eliza dan Hamdi. Aku melihat mereka berjalan beriringan dengan jarak yang begitu dekat, sungguh aku tidak terima atas pemandangan itu. Tak kuasa aku membendung rasa cemburuku, pola pikirku tak jernih lagi, api cemburu semakin membakar hati.
Tak kuasa menyaksikan pemandangan itu, aku menutup notebook dengan kasarnya, memasukkan ke dalam ranselku, dan beranjak pergi meninggalkan kafe itu. Aku tidak merespon sapaan Eliza, juga tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya menaruh uang ke kasir, tanpa menatap mereka berdua yang berdiri di sampingku. Segera aku keluar dari kafe, menaiki motor dan pergi, tanpa mempedulikan Eliza yang mengejarku.
Kecewa… Lagi-lagi hati ini kecewa, kenapa hal itu mesti terjadi. Aku sudah berusaha untuk memenuhi permintaan hati, meyakinkan dia sebagai insan pendampingku. Tapi kenapa ujung-ujungnya perempuan yang ingin aku miliki, malah memilih seseorang yang…. Arrrrgggghh.. Ingin sekali aku berteriak, mengumpat, dan mengutuk seseorang menyebalkan yang aku temui di jalan. Motorku melaju kencang melalui kenderaan-kendaraan, tidak peduli akan keselamatan diriku sendiri, tidak peduli juga dengan aturan-aturan.
Pikiran dan hatiku berantakan, aku butuh ketenangan. Sore itu sepulang dari kantor aku tidak langsung ke kosan, lebih memilih singgah di sebuah kedai kopi yang letaknya tak jauh dari kantorku.
Aku memesan minuman matcha sama seperti yang ada di Kafe Rembulan, tapi kali ini bukan buatan Eliza. Di kedai kopi itu aku hanya berdiam diri, duduk di kursi-kursi panjang yang ada di depan bar. Meminum matcha, serta menghisap rokokku.
Tiada orang yang aku kenal di situ, tidak ada juga percakapanku dengan seseorang, walaupun banyak sekali yang datang berkunjung dan memesan. Aku hanya diam menyaksikan kesibukan seorang barista yang membuatkan minuman untuk pelanggan.