Mencari Pesan

Setiawan Saputra
Chapter #39

Tiga Puluh Sembilan

Shahrul tahu kejadian pertengkaranku dengan Denis, tiga puluh menit setelah kejadian itu ia baru saja tiba di kosan. Ia bilang melihat Denis pergi dengan motornya hari itu, dan membawa barang-barang yang sudah dikemas rapi. Shahrul sempat bertanya, namun tidak mendapat jawaban dari Denis, ia malah langsung pergi meninggalkannya yang berdiri di depan gerbang.

Kemudian Shahrul langsung menghampiriku, mempertanyakan soal apa yang telah terjadi, dan aku menjawab aku dan Denis baru saja bertengkar, aku jelaskan semua permasalahannya pada Shahrul. Ia sangat menyayangkan kejadian itu bisa terjadi, ia ingin hubunganku dan Denis kembali membaik.

Dan atas permasalahan itu, aku rasa Shahrul yang paling repot untuk menyelesaikannya. Ia bolak-balik datang ke kosan Denis yang baru, menawarkan perdamaian denganku. Juga Shahrul berkali-kali menawarkan aku untuk damai dengan Denis. Hingga akhirnya Shahrul mempertemukanku dengan Denis di sebuah tempat yang sudah ia tentukan sendiri.

Malam itu sebenarnya aku ingin sekali beristirahat, aku ingin menenangkan diri yang telah dilanda berbagai macam masalah. Shahrul memaksaku bertemu dengan Denis, untuk membicarakan masalah itu.

“Udahlah, Dran. Duduk sini,” pinta Shahrul saat itu sedang melihatku yang enggan duduk di hadapan Denis. Jangankan itu, aku muak menatap wajahnya. Begitu juga Denis yang selalu membuang muka dariku.

Tak lama pembicaraan itu dimulai, Shahrul meminta Denis untuk menceritakan semuanya tentang masalahnya denganku. Ternyata banyak sekali yang ia bicarakan, mulai dari sifatku yang berubah katanya melupakan dirinya, keluargaku, hingga teman-temanku. Sesekali aku membantahnya, karena itu tidak seperti yang dipikirkanku.

“Padahal aku udah berikan dia yang terbaik, Mas. Karena idealisnya yang membuat aku benci padanya,” begitu kata Denis.

“Tapi kalau memang itu cita-citaku gimana?” Aku pun membantah.

“Aku udah berapa kali bilang, cita-cita sewajarnya, nggak perlu dikejar segitunya. Nurutin idealis lama-lama habis kamu, Dran. Aku juga punya cita-cita, tapi aku lebih mensyukuri pekerjaanku sekarang, setidaknya aku bisa makan. Itu aja udah cukup.”

“Ya kamu aja nggak punya pendirian, Nis. Jangan salahkan idealis, bilang aja kamu iri, kan?”

“Aku nggak iri, Dran. Aku cuma mengingatkanmu aja.”

“Mengingatkanku?” Aku tertawa mendengarkan itu, “He, Nis. Aku enjoy di pekerjaanku sekarang, kenapa kamu yang repot?” 

“Udah.. udah.. Wooy..” Shahrul mencoba melerai, sedangkan aku masih menertawai ucapan Denis tadi.

Lihat selengkapnya