Pagi itu, teman dekatku pergi lagi, untuk kali ini aku merasa sepi. Karena Shahrul sudah menjadi tempatku bercerita banyak hal, tempatku bercanda, dan sebagainya. Ia adalah seseorang yang peduli terhadap orang-orang terdekatnya. Teringat terakhir kala aku dirawat di rumah sakit, hanya dialah yang menjagaku, ia rela tidur di kursi ruang perawatan untuk menjagaku.
Di hari kepergiannya, aku menawarkan diri untuk mengantarkannya ke stasiun. Sempat ia menolak, karena tidak mau merepotkanku. Tapi aku bilang padanya, “Tidak merepotkan bagiku, Rul. Aku cuma ingin mengatarmu. Itung-itung ini momen terakhir, setelah itu tidak tahu kita bisa bertemu lagi apa nggak.” Ia pun akhirnya menerima tawaranku setelah aku bicara seperti itu.
Di Stasiun Tugu Yogyakarta, aku melepas kepergian Shahrul. Ada sebuah kata yang masih aku ingat, sebelum ia masuk ke pintu keberangkatan, “Kejar terus impianmu, Dran. Ikuti apa kata hatimu, jangan membunuh impianmu sendiri. Ingat, impian bisa melawan dengan wujud penyesalan.”
Perkataan itu menyadarkanku, untuk tidak ragu akan impian yang aku miliki. Memang itu terlalu jauh, tapi setidaknya aku sudah mau mengejarnya. Juga aku tersadarkan bahwa, masih banyak orang yang terus mendukungku. Aku tidak sendirian, buktinya kasus penyerangan yang terus menimpaku, banyak orang-orang yang membantu, bahkan pihak Jogjapolitan pun peduli padaku.
Lantas kenapa aku selama itu merasa sendiri? Apakah aku lupa bersyukur, hingga membuat keberuntunganku menjadi sebuah petaka bagiku. Mungkin aku harus berdamai dengan diriku sendiri, menerima segala kesalahan dan memaafkan kebencian.
Setelah mengantarkan Shahrul, aku segera berangkat ke kantor. Menghadiri pertemuan pagi dengan sang redaktur, menyampaikan rencana liputan hari itu. Salah satunya, aku ingin mengulas sebuah kasus kejahatan jalanan yang sedang marak di Jogja, salah satunya klitih.
Pagi itu aku sedang duduk berhadapan dengan Brigjen Pol Aji Gunawan di kantor Polres Jogja, sedang membicarakan soal khasus kejahatan jalanan yang marak di Jogja. Selanjutnya, wawancaraku dengan Pak Aji berlangsung tiga puluh menit. Hingga pertemuanku dengan Pak Aji selesai, aku sudah mendapatkan salah satu berita yang sedang marak di media-media Nusantara soal Jogja sudah tidak aman lagi, karena kejahatan klitih semakin melonjak kasusnya, dan banyak korbannya.
***
Setelah selesai liputan, aku langsung kembali ke kantor. Tugas-tugasku sudah selesai semua, dan sudah aku kirim ke redaktur. Menjelang sore aku pergi ke lantai tiga warung redaksi, seperti biasanya aku memesan kopi, dan kemudian duduk di area atap terbuka.
Di waktu-waktu itu aku terbenam dalam penyesalanku, apakah yang aku lakukan selama itu salah, hingga membuatku kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Apakah aku terlalu egois? Mengejar apapun yang aku inginkan tanpa melihat situasi.
Ternyata di kehidupan ini sulit untuk mencapai kebebasan, padahal yang aku inginkan itu adalah hal yang positif, tidak ada yang merugikan orang lain. Mulai dari aku merantau ke Jogja, memilih karir di bidang jurnalis, dan memilih perempuan yang aku cintai. Semua itu baik-baik saja menurutku, tapi heranku kenapa bisa membuahkan masalah yang beruntun seperti itu, hingga aku kehilangan segalanya.