Hari ke tiga aku di Kulon Progo. Siang itu cuaca menjadi gelap, langit dipenuhi gulungan hitam awan, tiada sedikit pun secercah cahaya mentari siang itu. Saat itu aku berada di Kantor Jogjapolitan Biro Kulon Progo, setelah makan siang aku langsung menghimpun berita-berita yang aku dapatkan hari itu.
Sungguh, sempitnya wilayah liputan membuatku kesulitan mencari berita. Tak seperti di pusat kota yang lebih luas wilayah liputannya. Ya, memang kota besar, pasti banyak peristiwa di dalamnya. Berita yang sering aku liput selama tiga hari itu hanya berita banjir dan tanah longsor, hujan yang sering mengguyur di sore hari, membuat sejumlah titik di daerah Kulon Progo terjadi tanah longsor dan banjir.
Tadi pagi, aku dan Dalila diberi kesempatan unntuk meninjau lokasi banjir. Air-air masih menggenang, tapi beberapa desa yang airnya sudah surut, dan warga bisa kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Namun, masih ada beberapa desa lain yang masih tergenang air hingga paha orang dewasa.
Kami juga sempat bergabung dengan Tim Sar, menyusuri tempat yang terendam banjir menggunakan perahu karet. Salah satu momen yang tak biasa, mungkin ini kali pertamaku. Kala Tim Sar yang kami ikuti menemukan jasad seorang pria tersangkut di ranting-ranting pohon bambu. Diduga jasad itu adalah salah satu korban banjir bandang luapan sungai serang.
Ketangguhan kami kembali diiuji saat itu, tak kuasa aku melihat ketika jasad itu diangkat dan dimasukan ke dalam karung berwarna oren. Mau tidak mau, aku harus dituntut setega mungkin untuk memotretnya.
Aku saja seorang laki-laki sudah tak kuasa melihat momen itu, apalagi seorang perempuan seperti Dalila. Ia tak kuasa menahan tangisnya, ketika melihat jasad yang ditemukan itu dikembalikan ke pihak keluarganya. Itu bukan hanya momen menyedihkan, tapi juga momen dilema bagi kami atas kemanusiaan.
"Ya, mau gimana lagi? Ini udah jadi tugas kita," kataku saat melihat Dalila menangis di sampingku. Aku mencoba menenangkannya, malah tangisannya semakin menjadi. Katanya ia sudah tidak kuat lagi dengan hal itu. Mau tak mau di momen itulah aku harus memeluknya, untuk memberinya ketenangan.
Selepas jam satu siang, gemuruh suara petir menyambar-nyambar mulai terdengar, disertai rintikan-rintikan kecil yang mulai jatuh. Tak lama rintikan itu semakin kencang, dan berubah menjadi hujan deras. Langit semakin gelap, hingga terpaksa lampu-lampu di dalam ruangan harus dinyalakan, walaupun itu masih siang hari.
Suasana siang itu tak biasa, walaupun setiap hari di kala sore menjelang hujan deras terus mengguyur, tapi kala itu rasa-rasanya berbeda. Suara hujan dan petir cukup mengerikan, angin-angin berhembus sangat kencang.
"Ini aman 'kan, Mas?" Tiba-tiba Dalila menanyakan hal itu, "Kok hujannya ngeri banget?" Ucapan Dalila itu sama dengan apa yang aku pikirkan.