Aku menyadari kebiasaanku yang selalu bertindak sesuka hati, tapi di tempat itu tak berlaku lagi bagiku. Karena di tempat itulah aku harus berhadapan dengan sesuatu yang sama sekali belum pernah aku hadapi sebelumnya; Ya, banjir bandang susulan di Kulon Progo.
Waktu sore menjelang, banjir masih menggenang, sekiranya air telah merendam hingga separuh pintu rumah. Sementara kami masih berada di atap, menunggu petugas penanggulangan bencana untuk mengevakuasi kami.
Tak lama, para petugas tiba menggunakan perahu karet, kami pun langsung dievakuasi oleh mereka, dan langsung membawanya ke posko pengungsian. Salah satunya di kantor kecamatan tempat yang aman bagi kami, kami pun mengungsi di sana. Mobil dari kantor pusat juga datang untuk meninjau pegawai yang terkena bencana di situ, mobil itu membawa beberapa barang logistik termasuk tenda, alat masak, kopi, dan makanan.
Semua hal kerusakan yang ada di kantor akan segera ditanggung dari pusat, salah satunya komputer dan kendaraan-kendaraan para pegawai yang tidak mungkin bisa diselamatkan. Untuk sementara pihak dari pusat akan mengirimkan beberapa kendaraan sepeda motor untuk keperluan para wartawan.
Nasib kos-kosanku dan Dalila juga turut diterjang banjir. Aku tidak tahu bagaimana nasib pakaianku yang ada di sana, tapi setidaknya kehadiran mobil dari pusat membawakan pakaian ganti untuk kami di sana.
Hingga akhirnya Jogjapolitan Biro Kulon Progo mendirikan tenda di kantor kecamatan, untuk dijadikan kantor kami sementara. Aku, Dalila, dan beberapa pegawai juga harus mengungsi di sana.
***
Malam telah menjelang, udara dingin malam telah terasa menusuk kulit hingga ke tulang. Orang-orang Jogjapolitan membuatkan seceret kopi dan teh sebagai penghangat. Di saat itu aku melihat Dalila yang duduk menyendiri di luar tenda. Aku pun menghampirinya sambil membawa segelas teh hangat.
"Mau teh?" Dalila terkejut, mungkin mendengar suaraku yang tiba-tiba. Ia pun langsung menatapku.
"Udah minum teh, Mas. Tuh udah habis." Dalila mengangkat gelas plastik yang sudah kosong.
"Mau diambilin lagi?" Tawarku
"Boleh, Mas." Dalila mengangguk dan tersenyum.
Aku mengambil gelasnya, kemudian masuk ke dalam tenda, tak lama aku keluar membawa dua gelas teh hangat dan jaket milikku, “Ini tehnya, Lil.” Aku memberikannya pada Dalila, dengan senang kurasa ia menerima.
"Kalau dingin, pakai jaket ini," ucapku sembari menyodorkan jaketku padanya.
Dalila menatapku lagi, lantas ia bertanya dengan rasa ragu, "Boleh, Mas?"
Aku mengangguk, “Pake aja.”