Sudah empat hari aku berada di Kulon Progo, di tempat itulah aku menemukan pesan-pesanku. Sifat bertindak sesuka hati hanya demi mendapat validasi di hadapan orang lain memang tiada artinya di tempat itu.
Buktinya, ketika banjir bandang susulan menerjang kantor. Aku tidak bisa bertindak apa-apa, tempat itu asing bagiku, ditambah situasi yang sama sekali tidak pernah aku hadapi. Mungkin benar, sulit bagi seseorang untuk merubah sifatnya. Aku masih tetap di pendirianku, mungkin harus perlu diperbaiki lagi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Pagi sebentar lagi menjelang, sang mentari masih belum terlihat dari ufuk timur. Masih di dalam tenda pengungsian, aku sudah terbangun sejak pukul 04.00 wib, karena terdengar suara alarm dari ponsel Dalila yang berkali-kali berbunyi. Walaupun tempat tidurku dan Dalila terpisah agak jauh, masih saja bisa mendengar suara deringan alarm ponselnya itu.
Sudah sekian kalinya aku harus berdiri, mencari ponsel Dalila untuk mematikan alarmnya. Dan untuk kali ini aku terpaksa harus membangunkannya, untuk mematikan alarmnya sendiri.
“Terganggu ya, Mas?” Dengan polosnya ia bertanya.
“Iya,” jawabku.
“Maaf ya, Mas.”
Aku hanya mengangguk memaafkannya.
“Nggak cuma Badran yang terganggu, aku juga terganggu, Lil.” Angga sang kepala biro juga ikut memprotes alarm Dalila.
“Maaf ya, Mas Angga.”
“Ya, nggak papa. Mau salat subuh ya?”
“Iya, Mas.”
“Ya udah, mumpung ini udah azan subuh. Yuk salat berjamaah di musala.”
Kami pun segera bergegas pergi ke mushala, yang berada di desa tempat kami mengungsi, orang-orang yang mengungsi di desa itu pun juga selalu mengerjakan ibadah salat berjamaah di musala, berbaur dengan warga-warga setempat.
Tak lama mentari pagi menyapa, walaupun secercah cahayanya masih terhalang kabut yang tebal. Harum wangi hujan sisa kemarin masih terasa, sangat menenangkan. Kami pun memulai aktivitas seperti biasa, seperti halnya di kantor.