Jam makan siang hari itu, aku habiskan waktu istirahatku di warung redaksi lantai 3 kantor Jogjapolitan. Aku tidak sendirian, ada Dalila yang menemaniku makan siang. Sengaja aku memintanya untuk datang.
“Mas kenapa?” tanya Dalila setelah kami selesai makan, mungkin karena ia melihatku hanya diam di hadapannya seperti memikirkan sesuatu. Benar, aku sedang memikirkan sesuatu, tentang semua yang belum aku selesaikan. Masih banyak pertanyaan yang belum aku dapatkan jawabannya.
“Lagi mencoba melupakan masalah,” jawabku.
Dalila tertawa mendengar jawabanku, lantas ia berkata, “Masalah tidak bisa dilupakan begitu saja, Mas.Tanpa sampean selesaikan masalah itu.”
“Masalahku terlalu banyak untuk diselesaikan, Lil,” kataku kemudian.
Aku lihat Dalila menghelakan napasnya, kemudian suasana bangku itu hening. Aku tarik sebatang rokokku dan kubakarnya. Sembari menghisap rokok, aku sempatkan untuk memandang parasnya. Baru aku sadari kala itu, bahwa Dalila memang sangat cantik. Memandangnya bisa mengurangi rasa gundah di diriku.
“Aku tidak tahu apa yang sampean pikirkan, Mas. Masalah-masalahmu juga aku tidak tahu, aku memang bukan orang terdekat, walaupun kita sering ketemu di sini. Di kantor ini,” katanya seperti itu.
Aku hisap rokokku sekali lagi, dan aku hembuskan membuat diri ini jadi lebih tenang, “Aku mau ceritakan semua di sini?”
Ia mengangguk, dan bilang ia siap mendengar ceritaku. Mulai dari masalahku dengan Denis, yang masih membuatku dilema. Aku tidak tahu, apakah selama itu aku salah padanya, dan kenapa bisa keputusanku untuk diriku-sendiri membuat dirinya kecewa. Ya, walaupun itu sudah dibicarakan bareng-bareng. Tapi bukan berarti masalah selesai begitu saja, masih ada yang kurang dari masalah itu soal pemahaman. Masing-masing dari kami masih belum bisa saling memahami.
Lantas lanjut aku ceritakan tentang temanku Pieter, aku tidak tahu ada masalah apa tentang dirinya. Dia nggak pernah cerita, dan tiba-tiba saja ia terjerat kasus seperti itu. Lantas aku merasa bersalah, sudah menjadikan kasusnya itu menjadi sebuah berita di koran. Memang hasilnya cukup memuaskan, berita itu tampil di halaman depan. Tapi di situ aku merasa telah menjahatinya.
Lanjut tentang Eliza, memang aku akui aku adalah laki-laki pecemburu. Ketika aku punya pasangan, yang jelas aku sangat menyayanginya dan nggak mau kehilangannya. Hingga aku tidak ingin melihat pasanganku dengan cowok lain walaupun hanya sekadar teman. Sekarang hubunganku sudah selesai, karena sifatku seperti itu. Sempat aku bertemu dengan papahnya dan beliau sudah menjelaskan semuanya. Tapi masalah itu belum selesai, karena aku belum meminta maaf kepadanya.