Setelah melewati pemeriksaan, petugas segera mengantarkan aku dan Denis menuju ruang kunjungan, dan mempersilakan kami menunggu di ssana. Ya, hari itu tepat jam sepuluh kami membesuk Pieter di Balai Rehabilitasi Narkotika.
Pieter duduk di kursi berhadapan dengan kami. Setelah petugas datang membawanya, ia hanya duduk terdiam, hanya memberikan senyuman membalas sapaanku dan Denis. Sementara di meja itu terdapat tiga teh berkemasan botol, dan sekotak nasi ayam geprek yang dibawakan Denis, memang itu sengaja untuk Pieter.
“Aku minta maaf, kalau mungkin mengecewakan kalian.” Pieter mulai berbicara setelah sedari tadi ia hanya diam. Bahkan pertanyaan kami tentang kabarnya dijawab singkat olehnya.
“Tidak, kita tidak ada yang kecewa, Pit.” Denis menggelengkan kepala, tersenyum, menepuk bahu Pieter.
Sejenak meja itu kembali hening, Pieter sendiri hanya diam, menundukkan kepalanya dari kami. Aku tahu apa yang dia rasakan, dan aku meyakini pasti ada masalah yang lebih berat selain kasus itu.
“Andai kamu dulu cerita, masalah ini tidak akan terjadi, Pit.” Aku pun berbicara seperti itu kepadanya.
Pieter menghela napas, “Maafkan juga, Mas. Aku nggak sempat cerita sama kalian. Mungkin aku juga tidak mau membebankan kalian dengan masalah-masalahku.” Pieter terdiam lagi, tatapannya masih kosong menatap meja putih yang ada di hadapannya.
“Kita tidak merasa terbebani kok, Pit. Kalau kamu butuh bantuan, ya kita bantu pastinya.” Denis menjawab.
“Sebenarnya ada masalah apa kamu, Pit? Ceritakan, teman-temanmu ini dengan senang hati akan mendengar, mungkin bisa juga membantu,” kataku kemudian.
Pieter menghela napas sejenak, sebelum ia memutuskan untuk bercerita. Aku dan Denis masih sabar menunggu, hingga Pieter sudah siap menceritakan semuanya.
“Jogja adalah tempat pelarianku, Mas. Aku pergi ke Jogja karena wujud kekecewaanku dengan keluarga di Kediri. Mungkin aku melihat Mas Badran, Mas Shahrul, dan Mas Denis sungguh bahagianya sekarang udah bisa meraih apapun yang kalian inginkan.”