Tugas liputanku selesai hari itu, aku sudah selesaikan semuanya pagi tadi. Masih ada yang mengganjal di hati, selain masalah dengan teman kosku yang saat itu sudah bisa dibilang tuntas. Ada satu masalah lagi yang segera ingin aku tuntaskan.
Ya, soal Eliza. Sebenarnya itu tidak perlu sih, hubunganku sama dia sudah berakhir sejak lama. Tapi, aku selalu terpikirkan olehnya. Bayang-bayangnya selalu merasuk pikiranku, bagaimanapun itu situasinya aku selalu dihantui oleh kesalahanku yang pernah aku buat padanya.
Kala itu setelah liputan aku langsung datang ke kafenya, ingin segera bertemu dengannya lagi. Aku ingin meminta maaf kepadanya, tidak cuma itu. Ada yang ingin aku sampaikan padanya, bahwa aku tidak ingin kehilangannya, walaupun dia sudah tidak mau lagi menjalin hubungan cinta denganku, tapi aku ingin menjadi seseorang yang ada di dekatnya.
“Eliza mana, Wan?” tanyaku pada Awan salah satu pegawainya, setelah aku memesan minuman favoritku.
“Ada di ruangannya, Mas.”
“Bisa panggilkan dia, nggak? Aku tunggu di meja itu.” Aku menujuk meja yang biasa aku tempati.
“Baik, Mas. Sebentar ya.” Awan mengangguk, lantas menjalankan perintahku.
Lima belas menit aku menunggu, Awan datang menghampiriku mengantar secangkir matcha ke mejaku, juga ia berkata, “Eliza masih ada kerjaan di ruangannya, tunggu sebentar ya, Mas.” Aku mengangguk, masih sabar menunggu kemunculannya.
Sepuluh menit lagi ia keluar dari ruangannya, lantas berjalan menghampiri mejaku, dan duduk di hadapanku. Sementara aku masih diam di hadapannya, otakku segera berputar mengatur kata-kata yang akan segera aku bicarakan kepadannya.
“Ada apa kamu memanggilku, Dran?” tanya dia.
Aku menghela napas sejenak, lantas menatapnya, “Aku minta maaf, Za.”
“Terus?”
“Aku minta maaf, atas sifatku yang membuatmu benci kepadaku.”
“Terus apa lagi?” ia bertanya lagi, saat itu aku merasakan bertapa dingin sifatnya kepadaku. Sungguh Eliza menunjukkan sifat yang berbeda kepadaku kala itu.
“Iya cuma itu,” kataku.
“Aku permisi dulu.” Eliza beranjak dari kursinya, segera melangkah pergi.
“Za,” panggilku segera.