Tugas baru bagiku sebagai redaktur kota, mengatur tugas-tugas para wartawan, mengoreksi dan mengedit beritanya, menentukan layak atau tidaknya berita itu ditayangkan. Aku menunjuk temanku Dwi sebagai wartawan peristiwa, hukum, dan kriminal. Juga aku menarik Dalila untuk bekerja di bawah naunganku, sebagai wartawan pemerintahaan.
Rutinitas yang aku lakukan setiap harinya, mulai dari pagi sampai sore sangatlah berbeda. Aku tak lagi berkeliaran terjun ke lapangan, hanya saja menghadiri undangan-undangan para pejabat. Mengikuti rapat redaksi pagi dan petang, dan mengoreksi berita yang dikirimkan para wartawan.
Setiap selesai mengikuti rapat redaksi petang, sesuai kebiasaan Mas Chilmi dan redaktur-redaktur sebelumnya, selalu membawakan makanan untuk para wartawanku. Hal itu memang sudah menjadi tradisi di kantor itu, dan tidak bisa terlewatkan. Aku yang bertanggung jawab dan membelikan makanan para wartawanku.
“Kotak.. Kotak… Kotak.. Kotak…” Begitulah semestinya yang aku serukan, seraya menaruh sekotak kue pukis ke atas meja. Sontak kompetisi perebutan makanan itu pun dimulai. Seperti biasanya saling dorong, saling tarik, saling sikut hanya untuk mendapatkan kue pukis. Aku hanya tersenyum dan sesekali tertawa menyaksikan hal itu.
***
Kini di kosan, sudah tak lagi kesepian. Sebulan yang lalu Denis kembali ke kosan menempati kamarnya yang dulu, dan seminggu sebelumnya Pieter sudah bebas dari tahanan rehabilitasi, ia juga sudah kembali ke kosan.
Malam itu kami berkumpul di sofa ruang tengah, menikmati secangkir kopi arabika toraja buatan Pieter. Bernostalgia bersama mereka, membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Senang akhirnya bisa kumpul lagi bersama mereka.
Ada kabar baik malam itu juga, Pieter keesokan harinya ia mulai bekerja di salah satu kafe di sekitar Malioboro sebagai barista. Aku yang memberikan info lowongan itu sebelumnya, dan Pieter dengan antusiasnya langsung melamar pekerjaan itu.