Ann merasakan ada yang memegang tangannya dan menyentuh nadinya. Saat membuka matanya, ia menemukan seseorang berbaju putih berdiri di sampingnya. Wanita itu tersenyum, lalu memeriksa selang infus yang tergantung.
Astrid dan oma yang sedang duduk menunggu Ann sadar segera menghampiri dokter yang masih memeriksa Ann.
"Bagaimana dok?" tanya Astrid.
Dokter Widia sekali lagi memeriksa Ann dengan stetoskopnya.
"Ini baru pemeriksaan awal, ada dugaan paru-paru Ann terganggu. Karena itu akan dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan penyakitnya."
"Apa penyakitnya parah doker?" Oma bertanya dengan cemas.
Dokter spesialis dalam itu telah selesai memeriksa Ann yang masih terdiam lemah.
"Melihat gejalanya, Ann mungkin terkena kanker paru-paru."
Astrid dan oma terbelalak kaget, oma merasa kedua kakinya melemah ia berpegangan kepada Astrid dan wanita hamil itu membawanya menuju kursi kembali. Sementara itu Ann memejamkan matanya, dadanya kembali terasa lebih sakit dibandingkan sebelumnya.
"Masih ada kemungkinan, ini gejala yang masih bisa ditangani dengan pengobatan rutin. Kita berdoa saja, hasil tesnya baik. Malam ini, Ann harus istirahat yang cukup untuk pemeriksaan laboratorium besok." Widia memegang tangannya Ann. Ia hanya menunjukkan wajah simpatinya setelah itu dokter yang sudah berumur empat puluh enam tahun itu keluar dari kamar rawat inap yang sekarang masih diselimuti keheningan.
Sebenarnya berita ini tidak terlalu mengejutkan untuk Ann. Ia sadar bahwa penyakit ini pasti akan menimpanya. Melihat kebiasaannya dulu yang berhubungan dengan nikotin dan alkohol, ia hanya pasrah dan berharap hasil tes laboratorium nanti tidak separah dugaannya.
Astrid menghampiri Ann, memandangnya dengan bingung seakan tidak percaya dengan yang dialami sahabatnya ini.
"Aku tidak apa-apa." Ucap Ann pelan, ia masih bisa tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa ia tidak terpengaruh dengan berita yang masih belum jelas hasilnya.
"Ann ..."
"Setiap perbuatan pasti ada balasannya kan?"
Astrid membuang napas."Ya ... bukan dengan penyakit seperti ini."
Ann tersenyum lagi ."Ini masih dugaan Trid, dan semoga saja hasilnya nanti semua baik seperti yang dikatakan dokter Widia."
Astrid membuang napas, mulai tenang. "Sejak kapan lo mengalami gejala-gejalanya? Kenapa nggak pernah cerita sama gue."
"Mana gue tahu kalau ini bakal jadi penyakit berbahaya seperti ini. Gue cuma merasa sakit biasa saja, tapi memang akhir-akhir ini gue sering sesak dan dada gue sakit." Ann melihat oma yang masih duduk.
"Oma jangan khawatir ya, aku baik kok. Kita sama-sama berdoa saja."
Oma hanya mengangguk lemah.
"Dari tadi gue nyoba hubungi ustad Ali, tapi nomornya tidak bisa dihubungi terus." Astrid mengambil ponselnya untuk kembali menghubungi Ali. Tapi Ann menahannya dan menggelengkan kepala membuat Astrid menghentikan pergerakannya.
"Jangan, jangan dulu memberitahu Ali tentang hal ini, ya ..."
Astrid mengerjap tidak paham. "Tapi Ann, ustad Ali harus tahu."