Ann mengundang beberapa sahabatnya untuk makan malam di rumahnya. Seperti acara perpisahan sederhana sebelum ia ke Jakarta untuk menjalani serangkaian pengobatan kanker parunya. Oma, Astrid, Akbar, Keyla, Rian, Asyifa, Fathir, Sita dan Meira sudah duduk melingkar di meja makan bersama tuan rumah.
"Oh ya Sita, kapan penentuan tanggal untuk hari pernikahan?" tanya Ann di sela-sela makan mereka.
"Alhamdulillah, dua bulan dari sekarang. Tapi memang hanya keluarga dan teman-teman dekat yang hadir," Sita tersenyum senang, pernikahannya dengan laki-laki pilihan kiai Hasan akan segera dilaksanakan.
Menjalani taaruf kurang lebih dua bulan, sudah cukup untuk Sita mengenal calon suaminya itu. Ia yakin Faiz adalah laki-laki yang baik untuknya. Ia memang agak telat untuk menikah karena takut menjalani hubungan dengan pria yang salah. Tapi kali ini mungkin saatnya Sita percaya kepada takdir yang telah mempertemukannya dengan Faiz lewat tangan kiai Hasan.
"Yang penting semuanya berjalan dengan baik," Ann tersenyum tulus.
Sita mengangguk senang, "Insyaallah."
"Meira sendiri, masih betah sendiri nih?" Keyla menggoda Meira, yang membuat perempuan yang duduk di depannya hanya tersenyum.
"Tiga tahun sudah cukup untuk memulai kembali hubungan lho Mei," Oma ikut menambahkan.
Meira kembali tersenyum, sudah biasa ketika orang-orang di dekatnya ini menanyakan tentang statusnya, "Iya oma, aku sudah terbiasa sendiri. Jadi tidak masalah sebenarnya."
"Jangan begitu, tidak baik terlalu lama sendiri. Kamu memang wanita mandiri, tapi jangan lupakan masa depan kamu," lanjut oma yang merasa prihatin dengan masa lalu wanita di sebelahnya ini.
Tapi Meira lagi-lagi hanya tersenyum.
Ann memperhatikan Meira, ada sesuatu yang aneh ketika melihatnya. Wanita itu sempurna tapi kenapa dia belum mencari lagi pendamping hidupnya. Sosok yang dikenalnya sebagai wanita mandiri itu sungguh menggugah perasaannya. Ada rasa tertarik yang menariknya untuk mencari tahu sifat yang sebenarnya dari wanita itu. Meskipun ia sudah tahu, Meira adalah sosok wanita yang rajin dalam bekerja dan beribadah. Persis seperti kakaknya yang sampai saat ini masih dipercaya menjadi lurah karena amanah dan sikapnya yang sering membantu penduduk.
Dada Ann terasa berdebar, ia menoleh pada Ali yang sedang bicara dengan Akbar di sebelahnya. Apakah ia harus mengambil keputusan ini?
Oma, Meira dan Sita sudah pulang lebih dulu, dan Ann, Keyla, Astrid dan Asyifa masih mengobrol di ruang keluarga. Sementara para suami sedang berbincang ringan di teras depan, tidak ingin terganggu dengan para istri.
"Jadi kamu akan berhenti dari pekerjaan untuk fokus pada Ann," Rian masih memegang gelas kopinya.
Ali menarik napasnya, "Aku ingin Ann benar-benar menjalani pengobatannya. Ia sedikit kurang bersemangat sebenarnya."
"Mungkin karena ia bingung dengan penyakitnya. Ada saatnya dia ingin menyerah saja dan pasrah bila memang waktunya Tuhan memanggilnya," Fathir menambahkan.
Ali merenung, keadaan ini membuatnya merasa jauh lebih lemah dari Ann. Dengan penyakit istrinya yang datang tidak diundang hampir saja membuat Ali kehilangan akal sehatnya dan sempat mengeluh kepada Allah dengan ujian yang diterimanya.
Dan ada yang harus dikorbankan, yaitu pekerjaan yang sudah dibangunnya dari bawah hingga ia menjadi salah satu orang besar di dinasnya. Ia ikhlas, meskipun masih terasa berat untuk meninggalkan beberapa pekerjaan yang masih menumpuk di kantornya. Tapi ia percaya penggantinya akan mempunyai kapasitas dan kemampuan yang lebih baik darinya.