"Apa sebenarnya sesuatu yang pantas itu Kiai? Apakah Ann pantas menerima semua ujian ini? Apakah aku sudah menjadi suami yang pantas untuk Ann? Dan apakah Meira adalah wanita yang pantas menggantikan Ann di sisiku?"
Suara itu terdengar sarat akan keputusasaan, tenggelam dalam kesakitan di hatinya, yang membuat Ali tidak bergairah hanya untuk sekedar menghirup udara. Ia merasa doa-doanya tidak pernah diperhatikan oleh Tuhan, bahwa apa dilakukannya hanya sia-sia. Tuhan tetap akan mengambil istrinya, membawanya pergi dari hidupnya dan meninggalkannya dalam kesakitan seumur hidup.
Ali menyandarkan punggungnya di mushola rumah sakit, dengan tangan yang mengusap wajahnya. Kiai Hasan di sebelahnya, mencoba merasakan apa yang sedang dialami anak didiknya itu. Hatinya ikut sakit, melihatnya berada dalam kebimbangan dan ketakutan akan kehilangan, lagi.
"Jangan pernah menjauh dariNya apapun yang terjadi, Allah maha tahu apa yang terbaik untuk kita."
"Lalu apakah ini jalan yang terbaik dengan menuruti permintaan Ann?"
"Kita tidak tahu kapan hidup dan matinya seseorang. Bila tujuan kita untuk membahagiakannya, kenapa tidak." Kiai Hasan menghela napas, sebenarnya ia berat mengatakannya. Seolah-olah ia yakin Ann akan segera pergi meninggalkan mereka.
"Setidaknya Ann mau mencoba pengobatan ke London kan? Meskipun kamu harus mengobarkan perasaanmu sendiri."
Tatapan Ali terlihat kosong, ia memainkan jari tangannya sendiri, "Iya Kiai. Sebenarnya aku juga tidak tahu bagaimana perasaan Meira saat ini. Aku akan sangat berdosa ketika nanti aku bahkan tidak ingin melihatnya."
"Kamu dan Meira sama-sama berkorban, kita tidak tahu kedepannya bagaimana. Jangan dulu memikirkan perasaan kalian berdua untuk sekarang. Saat ini kita hanya perlu fokus dengan Ann."
Ali sedikit tenang, ia membuang napas. Semoga dengan langkah yang akan mereka jalani, ada hasil yang baik yaitu kesembuhan Ann. Meskipun ia masih memikirkan perasaan orang lain yang ikut terbawa dalam rencana istrinya.
Ketika masuk ke dalam ruang rawat Ann, Ali menoleh sebentar ke arah Meira yang duduk bersebelahan dengan oma di sofa.
Tatapan keduanya bertemu, tatapan Ali yang datar dan Meira yang kemudian menunduk ketika dirasakannya ada rasa canggung di antara mereka berdua.
Ali duduk di kursi di samping ranjang, ia melihat kedua mata Ann terbuka perlahan dan sadar sepenuhnya.
Ann tersenyum melihat Ali, "Maaf, aku membuat khawatir lagi."
"Kata dokter Widia kamu memang kelelahan, jadinya ngedrop," sahut Ali, ia menaikkan selimut sebatas dada Ann.
Ann mengatur napasnya sebentar, selang oksigen dihidungnya selalu membuatnya tidak nyaman. Ia meminta Ali untuk menaikkan kepala ranjang, agar Ann bisa duduk.