"Al, jangan lari-lari sayang." Ali sedikit terengah ketika harus mengejar putra semata wayangnya yang berlarian di sepanjang lorong pesantren menuju ruang guru.
Kiai Hasan yang sudah berdiri di depan pintu, segera melebarkan kedua tangan dan sedikit merendahkan tubuhnya untuk menyambut anak laki-laki menggemaskan yang datang padanya.
"Aduh, kakek udah nggak bisa gendong kamu lagi Al."
Ali mencoba meraih putranya,"Maaf kiai, Al hanya selalu semangat kalau sudah di pesantren."
Kiai Hasan berdiri sambil terkekeh kecil, dengan Al yang masih memeluk kakinya. "Ayo, kita belajar mengaji lagi," tangan mungil itu beralih menggenggam tangan sang Kiai, lalu dengan senang mengikuti ke dalam ruangan pimpinan pesantren itu.
Ali hanya menghela napas, senyumnya mengembang melihat perkembangan Muhammad Arsaq Alfarizi Rajeka yang baru berusia dua tahun itu. Meskipun belum lancar berbicara tapi ia senang mendengar Kiai Hasan mengaji. Ada beberapa doa dan ayat-ayat pendek yang dihapalnya dengan ucapan lucunya yang belum jelas.
.
Empat tahun berlalu, sejak Ali kehilangan perempuan yang merubah takdir hidupnya. Perempuan yang dihormatinya sebagai istri yang baik. Rasa kehilangan itu masih ada, dan akan terus dikenangnya segala kebaikan yang pernah diberikannya untuk keluarganya sekarang.
Dengan jalan hidupnya sekarang, Ali tidak berhenti untuk bersyukur bahwa kebahagian masih ada untuknya. Bersama istri dan putra tersayang yang lama dinantinya.
Suara lembut terdengar dari belakangnya, menyadarkannya yang setengah melamun. Ali menoleh ke belakang, mendapat senyum manis dari istrinya.
"Mumpung Al sedang bersama Kiai, kita sebaiknya segera berangkat." tangan perempuan itu terangkat merapikan kerah baju Ali yang sedikit kusut.
Ali mengangguk dengan senyuman yang tidak kalah lebar, ia segera meraih tangan lentik itu lalu digenggamnya untuk berjalan bersama menuju parkiran pesantren.
.