Laki-laki yang mulai memasuki usia empat puluh empat itu masih memandangi putrinya yang masih tertidur di jam tujuh pagi ini. Berkali-kali menghela napas untuk membuang segala sesak yang menghimpit dadanya ketika melihat wajah cantik Ann yang semakin mirip istrinya.
Radit tahu dibalik wajah manis putrinya itu, ada ledakan amarah dari rasa kehilangannya karena kepergian Erika, istrinya, mamanya Ann. Radit juga mengerti bagaimana pergolakan masa muda Ann tanpa bimbingan Erika membuatnya menjadi gadis yang sulit diatur seperti sekarang ini.
Ya, Radit tahu bagaimana sebenarnya pergaulan Ann di luar penglihatannya. Sopirnya Ann, selalu melaporkan tentang kegiatan Ann setiap hari. Tentang Ann yang selalu pulang malam, tentang Ann yang perokok, bahkan tentang minuman keras yang biasanya disembunyikan di kamarnya Ann.
Radit tidak marah atau kesal kepada Ann, karena ia paham kenapa putrinya seperti itu. Kehilangan Erika sama hancurnya dengan apa yang dirasakannya. Radit mencoba melupakan kematian istrinya dan kesedihannya dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan. Jarang ada di rumah karena begitu banyak kenangan dengan Erika di dalamnya. Sampai ia tidak menyadari bahwa ia hampir kehilangan putri satu-satunya bahkan dirinya sempat frustasi karena tidak bisa mengurus dan merawat Anna dengan baik.
Radit memijat pelipisnya, memikirkan kembali rencana yang akan dilakukannya untuk Ann. Ini semua demi masa depan putrinya, demi keyakinan yang dianutnya. Radit ingin Ann mendapat pendidikan agama yang baik disaat ia tidak bisa membimbingnya dan mengarahkannya ke sana.
Sekali lagi ia menghela napas, lalu menggoyangkan bahu Ann agar bangun.
"Ann, bangun."
Mata Ann terbuka dengan malas. Gadis itu masih memeluk gulingnya.
"Anak gadis bangunnya kok siang terus, pasti shalat subuhnya kelewatan lagi."
Ann cuma berguman, lalu mengeratkan pelukannya pada guling.
"Papa tunggu sepuluh menit untuk sarapan. Ayo cepat bangun."
Ann terpaksa membuka matanya. "Iyaa pa."
Radit berdiri, melangkah ke luar kamar.
"Sepuluh menit!" serunya lagi sampai Ann benar-benar bangun dan duduk untuk mengumpulkan nyawanya.
Ketika Ann sampai di ruang makan, Radit sedang membaca koran paginya dan sudah rapi dengan setelah kantor. Padahal papanya itu baru sampai di rumah jam dua pagi tadi, tapi pagi ini ia sudah harus kembali ke kantornya.
Ann hanya meliriknya sekilas, mengambil tumpukan roti dan selai kacang kesukaannya.
Radit meletakkan korannya, mulai memakan sarapannya yang sudah ada di piringnya.
"Kamu jadi daftar di UPH?"
Masih mengunyah, Ann menjawab "Jadi."
Radit menunggu Ann menghabiskan sarapannya. Setelah itu ia mulai membicarakan tentang rencana untuk Ann yang ia tahu pasti akan membuat Ann membencinya.