Mobil yang dinaiki Radit dan Anna mulai memasuki gerbang besar sebuah bangunan. Melewati sebentar taman yang cukup luas sampai akhirnya sedan hitam itu berhenti di depan bangunan kecil yang berada di tengah-tengah dua bangunan besar berlantai dua.
Radit turun dengan Ann yang ogah-ogahan keluar mobil. Terdengar suara lantunan orang membacakan alquran dari masjid besar yang berada di depan yang mereka lewati sebelum menuju ke bangunan yang adalah kantor pengurus dan pengajar dari pesantren ini.
Adalah pesantren Al Hidayah yang terletak di kawasan cibodas Lembang, salah satu pesantren terbaik yang mempunyai hampir seribu santri. Sekarang santri yang belajar di sini adalah anak-anak tidak mampu dan yatim piatu. Dulu, waktu Radit belajar disini, bangunan untuk kelas-kelas masih satu lantai dan masjidnya belum sebesar sekarang. Pesantren ini membentuk huruf U. Dari gerbang masuk, sebelah kiri adalah masjid, kemudian dua bangunan dua lantai yang di depan adalah dua puluh ruang kelas santri perempuan dan di belakangnya adalah asrama putri. Di tengah ada bangunan yang dijadikan kantor untuk para pengajar dan guru-guru, di belakangnya ada kantin. Sebelah kanan ada dua bangunan berlantai dua, bagian depan adalah tiga puluh ruang kelas untuk santri laki-laki, ruang computer, perpustakaan, dan di belakangnya adalah asrama putra.
Di belakang kantin ada hamparan tanah luas yang digunakan untuk menanam sayuran dan tanaman lainnya. Udara yang sejuk karena berada di daerah perbukitan membuat siapapun betah di pesantren ini, entah dengan Ann yang masih memperlihatkan cemberut di bibirnya.
Kiai Haji Hasan Abdullah adalah pimpinan dari pesantren Al hidayah. Beliau lah yang membangun pesantren di atas tanah miliknya sendiri. Beliau mendirikan pesantren yang sebagian didapat dari bantuan para donatur ini karena ingin membantu anak-anak yang tidak mampu dengan menyekolahkan mereka secara gratis.
Pesantren ini juga mempunyai kurikulum sendiri dan ada ujian kelulusan di tiap tingkatannya. Adanya kelas tambahan seperti kelas komputer dan bahasa Inggris agar para santri mengenal juga dengan teknologi dan bahasa internasional. Beberapa lulusan pesantren ini banyak yang menjadi pengajar di sekolah-sekolah umum untuk pendidikan agama.
Kenapa Radit mengirim Ann masuk pesantren ini, padahal tempat ini diperuntukkan khusus untuk anak-anak tidak mampu dan yatim piatu. Radit tahu bagaimana pesantren ini sudah mencetak anak-anak didik yang baik, soleh dan solehah. Sebagai salah satu donatur ia merasa harus bisa membuat Ann berada di tengah-tengah yang bukan dunianya. Segala kemewahan yang dimilikinya harus ia lupakan. Ann harus bisa berbaur dan merasakan sendiri bagaimana kehidupan anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Agar putri satu-satunya itu tahu, bagaimana caranya bersyukur atas hidup yang telah ia jalani selama ini.
Ann menyeret kopernya dengan malas mengikuti Radit yang sudah berada di depan pintu kantor. Rambut panjang pirangnya ia tutup dengan hoody dari sweaternya. Ia tidak masalah menggunakan sweater dan celana jeans longgar yang dipakainya sekarang karena Ann juga sudah terbiasa memakainya. Yang tidak biasa adalah bagaimana rasanya ketika ia memakai kerudung dan seragam pesantren yang pastinya akan membuatnya tidak nyaman.
"Kamu tunggu disini dulu, papa ingin bicara berdua dengan kiai."
Ann hanya menjawab dengan menjatuhkan bokongnya di kursi teras kantor pesantren lalu memasang headphone untuk mendengarkan musik dari benda itu.
Radit melanjutkan langkahnya untuk mengetuk pintu dan masuk.
"Assalamu'alaikum."
Satu wajah penuh kharisma menyambutnya dengan senyuman.
"Wa'alaikum salam."
Radit menghampiri sosok berwibawa itu yang sedang duduk diruang tamu menunggunya. Setelah menyalami dengan santun dan memeluk hangat, Radit dipersilahkan duduk.
"Apa kabar kiai? Sudah lama sekali saya tidak melihat dan mendengar kabar tentang kiai dan pesantren ini."
"Alhamdulillah... saya pikir kamu udah lupa dengan pesantren ini?"
Radit tersenyum, sosok di depannya ini tidak berubah. Meskipun umur sudah mengambil sebagian tubuh tegapnya, tapi karisma dan aura dari kiai Hasan seperti tidak memudar sama sekali. Hal ini yang membuat banyak orang hormat dan segan padanya.
Meskipun sudah bertahun-tahun lamanya, Kiai Hasan tidak melupakan mantan muridnya yang terkenal bandel dan pemberontak ini. Waktu Radit belajar di pesantren ini, Kiai Hasan belum menikah.
"Saya tidak mungkin melupakan tempat yang sangat baik ini. Saya melihat banyak sekali perubahan yang besar pada pesantren."
"Alhamdulillah, banyak donatur yang ikut membantu dalam memperbesar pesantren sehingga lebih banyak lagi orang-orang yang tidak mampu yang bisa kita bantu."
Radit mengangguk senang. "Seperti yang sudah saya bicarakan sebelumnya di telepon, saya ingin menitipkan putri saya, Ann kepada pesantren ini."
"Putrimu akan diterima dengan baik disini. Saya mengerti dengan jiwa mudanya yang masih menyala-nyala. Saya senang kamu memutuskan untuk mengirimkannya kemari."
"Sebenarnya saya mempunyai adik perempuan di London, tapi saya tidak mungkin memindahkan Ann ke sana. Adik saya juga sibuk seperti saya, dan sepertinya tidak akan bisa memperhatikan Ann dengan baik."