MENCARI SURGA

memia
Chapter #5

ALI


Ali hanya menghela napas kesal melihat pekerjaannya yang belum selesai malah diobrak-abrik oleh gadis baru yang menyebalkan. Rencananya untuk memperindah bangunan yang diperuntukan untuk santri putri dengan keahliannya mengolah tanah menjadi subur untuk ditanami berbagai tanaman bunga, harus ia ulang dari awal lagi.

Ali mendapat akses untuk bisa berada di tempat khusus putri ini karena ia sendiri seorang pengajar yang otomatis akan mendatangi bangunan kelas putri untuk mengajar dan melakukan sesuatu yang berguna contohnya seperti yang akan dilakukannya. Menanam berbagai macam bunga yang cantik di sekitar kelas dan asrama putri. Yang dilarang disini adalah, menyentuh dan mojok berdua dengan lawan jenis. Dan santri laki-laki benar-benar dilarang berada di sekitar bangunan apalagi asrama putri.

Ali membereskan tempat yang berantakan itu, kemudian menanam bunga di pot yang masih tersisa. Baju kaos yang dipakainya sudah kotor, untung sebelumnya ia mengganti baju kokonya dengan pakaian biasa. Peci kesayangannya selalu menempel di kepalanya.

Ia penasaran dengan santri perempuan tadi, tapi Ali tidak bisa menyusul dan mengetahui apa yang dilakukannya sebelum ada perintah dari kiai Hasan sendiri. 

Asyifa terkejut melihat kekacauan di depannya ketika ia baru saja keluar dari kelas mengajarnya. Masih menjaga jarak, gadis itu memperhatikan Ali yang masih membereskan sisa-sisa pecahan pot.

"Ali, apa yang terjadi?"

Ali menoleh melihat Asyifa yang bingung melihatnya.

"Ada kucing besar jatuh tadi disini."

Asyifa hanya menggeleng, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang guru. Bicara dengan pemuda itu selalu membuat Asyifa tidak bisa menahan gejolak yang menggebu. Daripada pikirannya tidak bisa fokus ia memilih menjauhi Ali demi keamanan hati dan menjaga harga dirinya sebagai putri pemimpin pesantren Al-Hidayah.

Asyifa tidak ingin membuat sebuah dosa dengan berlama-lama memandangi dan memuji ciptaan Tuhan yang menurutnya sempurna itu. Ali dan Asyifa memang tumbuh besar bersama di pesantren ini, tapi ada benteng yang tidak kasat mata yang membuat mereka tidak bisa menyentuh atau sekedar berbasa-basi ngobrol seperti layaknya dua manusia yang saling mengenal. Hanya bicara seperlunya, itu juga kalau memang ada kepentingan yang mengharuskan mereka untuk berdiskusi. Selebihnya, menjaga jarak karena memang bukan halalnya dan untuk menjaga kehormatan masing-masing.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, Ali kemudian membersihkan diri karena ia masih harus pergi ke kampusnya untuk menyerahkan bahan skripsinya kepada dosen pembimbing. Ia ingin sekali cepat lulus agar bisa mendapat pekerjaan yang baik. Dan ingin membalas semua kebaikan kiai Hasan yang selama ini mengurusnya. 

Pemuda berkulit sawo matang, dengan tinggi menjulang ini mempunyai keinginan untuk ikut membangun pesantren ini. Meskipun tidak dengan materi tapi ia mempunyai ilmu yang akan ia dedikasikan untuk pesantren ini.

Menjelang dua puluh empat tahun usianya, Ali memang tumbuh menjadi laki-laki yang soleh, menghormati orang yang lebih tua dan senang membantu orang lain. Selain cerdas, ia juga mempunyai fisik yang kuat sehingga selalu bisa membantu panen dan mengantar sayuran atau padi ke pasar untuk dijual. 

Setelah selesai, Ali kemudian pulang ke rumah sederhananya, peninggalan orangtuanya untuk bersiap ke kampus. Dengan semangat menggebu ia pun menggeber motor tuanya yang selalu menemani Ali kemanapun. Jarak ke kampus sekitar satu jam, itu juga kalau tidak dibarengi dengan kemacetan yang selalu terjadi di pusat kota.

...

Lihat selengkapnya