Tiga minggu berlalu dari kejadian buruk yang menimpa Ann dan Ali. David masuk penjara, dan tidak akan kembali lagi ke pesantren. Ali sudah pulih, kembali beraktifitas seperti biasanya, mengajar dan berkebun. Dan Ann, setelah sempat pulang ke Jakarta dan menghabiskan waktu bersama papanya selama satu minggu lebih, kembali ke pesantren dengan jiwanya yang baru.
Ali benar-benar telah menyentuh hatinya, dengan percaya padanya.
Bila waktu bisa diulang kembali, ingin rasanya Ann memperbaiki semuanya dari awal. Menjadi gadis baik-baik seperti ajaran mama dan papanya. Bukan malah terjerumus di jalan yang salah, dengan kehilangan mamanya yang dijadikannya alasan untuk berbuat seenaknya.
Semuanya seperti berbalik, menjungkirbalikan hidup Ann ke arah yang lebih baik, mungkin Ann memang harus ditegur dulu dengan kejadian di villa itu, baru ia menyadari kesalahanya. Membuka matanya bahwa ada hal lain yang lebih baik untuk menyalurkan kesedihannya karena kehilangan.
Selama berada di rumahnya, Ann banyak berpikir. Tentang pesantren, tentang semua yang ada di dalamnya. Ia baru sadar, selama beberapa bulan berada di pesantren Al-Hidayah, sebenarnya ia sudah mendapatkan sesuatu yang berharga. Ann tidak pernah merasakan kebaikan dan kehangatan seperti yang keluarga Kiai Hasan berikan sebelumnya. Umi Aisyah yang selalu menganggapnya anak sendiri dengan sabar menuntun Ann, membuat Ann seolah mendapatkan kembali kelembutan seorang ibu. Asyifa, Sita dan santri perempuan lainnya seperti saudara baru untuknya yang selalu membuat Ann merasa berada di rumah sendiri. Dan kembalinya ia di pesantren ini karena ia merindukan hal-hal itu, bahwa Ann ternyata membutuhkan pesantren ini. Tempat yang membuatnya menjadi lebih baik, menjadikan Ann sosok baru yang dekat dengan Tuhan.
Dan lebih membahagiakan lagi ia bisa membawa dua temannya Astrid dan Keyla yang perlahan-lahan mengikuti jejaknya dengan selalu hadir di setiap pengajian hari minggu di pesantren. Selain belajar ilmu agama mereka juga mau sekalian mencari jodoh katanya. Mereka tidak percaya lagi dengan cowok-cowok yang berada di luaran sana. Mereka ingin seseorang yang bisa menjadi imam dunia akhirat. Tentu saja Ann senang dengan perkembangan dua sahabat baiknya itu.
Sekarang senyum Ann selalu mengembang manis, menambah binar di wajahnya yang selalu membuat para laki-laki menunduk ketika memandangnya. Seperti yang selalu dirasakan sosok pemuda yang sedang berada di kebun. Entah sejak kapan perasaannya selalu berbunga-bunga ketika berada di dekat Ann. Seperti kembang api yang memercik, memancing rasa bahagia dan nyaman. Ann bukan lagi sosok cewek yang jutek bin galak, gadis itu sekarang lebih manis dan sering mengajaknya bicara.
Dada Ali sudah berdetak kencang ketika dilihatnya Ann dari kejauhan berjalan menghampirinya. Sekali lagi Ali harus menyembunyikan raut bahagianya ketika gadis itu mengajaknya bicara.
"Ustad."
Sekarang Ann lebih menghormati Ali dengan memanggilnya ustad, mungkin sebagai rasa terima kasihnya dengan yang sudah dilakukan Ali selama ia berada di pesantren ini. Menjadi pengajar yang sabar, menjadi teman ketika Ann merasa bosan dan sebagai guru bercocok tanam yang keren.
Ali menoleh, membalas dengan sedikit senyuman lalu kembali sibuk dengan cangkul di tangannya.
"Hari minggu besok, apa ustad akan kembali ceramah di pengajian?"
"Iya memang sudah jadwal saya, kenapa?" jawabnya tanpa menatap Ann.
"Biasa, Astrid sama Keyla maunya yang isi ceramah di pengajian besok ustad Ali."
"Nggak ada bedanya dengan ustad yang lainnya, sama-sama ngasih ilmu yang bermanfaat kan?" sahut Ali tanpa beralih dari pekerjaannya.