Ali merasakan apa yang sedang dialami gadis yang masih bersimpuh di dekat gundukan tanah yang masih merah itu. Dunia mendadak tidak adil untuk gadis itu, ketika dia benar-benar sudah menyerahkan diri sepenuhnya untuk beribadah kepadaNya, dia diberikan ujian berat kehilangan kembali orang yang paling berarti untuknya.
Dada Ali sesak, ingin sekali memeluk dan menguatkannya.
Kiai Hasan memegang bahu Anna, turut merasakan duka yang amat dalam. Padahal kemarin dia baru saja berbincang dengan Radit. Berterimakasih karena telah mendidik Ann dan memintanya untuk menjaga putri kesayangannya itu. Kiai tidak berhenti mengirimkan doa untuk almarhum dan berjanji akan melakukan permintaan terakhirnya.
Sebelum Ali dan Kiai Hasan pulang kembali ke pesantren, mereka membantu dulu mengurus acara pemakaman Radit. Selesai sore, Kiai Hasan dan Ali menemui Ann yang duduk lemah di kursi tamu rumahnya ditemani Astrid dan Keyla untuk pamit.
"Terimakasih sudah mendoakan papa saya Kiai." Ann berucap lirih, sepasang matanya masih basah.
Kiai menyentuh pucuk kepalanya lembut. "Kamu anak yang hebat Ann, kuat dan sabar ya insyaallah orangtua kamu husnul khotimah. Jangan berhenti mendoakan mereka."
Airmata Ann meleleh, perhatian Kiai besar itu begitu menenangkan hatinya. Ann hanya tersenyum ketika pria itu berlalu dari hadapannya.
Ya Tuhan, ingin sekali Ali menghapus air mata itu dan menarik tubuh itu ke dalam dekapannya.
Ann terisak pelan, ketika matanya bertemu dengan tatapan Ali yang menyentuh hatinya. Senyum yang diperlihatkan Ali seperti selimut yang menghangati perasaan sedihnya, membuatnya ikut tersenyum untuk menguatkan hati. Perlahan Ann menarik napas, mencoba tegar menghadapi takdir yang diberikan Tuhan padanya. Kehilangan satu lagi penopang dalam hidupnya, membuatnya sesaat lemah dan dan tidak berdaya. Tapi pelajaran dari pesantren membentuk dirinya untuk bisa lebih ikhlas dan merelakan.
Ali tahu, Ann lebih kuat dari yang ia lihat sekarang. Gadis itu sudah belajar menerima kehilangan dengan baik. Tapi tetap saja ia ingin berada di sampingnya, menemani ketika rasa kehilangan itu menyesakkan dadanya. Ingin membacakan doa-doa untuk penenang jiwanya. Dan memberitahu bahwa masih ada seorang Ali yang akan menemaninya.
.
Satu bulan dari meninggalnya Radit, Ann kembali datang ke pesantren. Tapi bukan untuk belajar lagi, tapi untuk pamit. Bersama Oma dan Rosa yang mengantar Ann, mereka bertiga berbicara dengan Kiai Hasan dan umi Aisyah untuk menjelaskan kenapa Ann tidak bisa lagi melanjutkan belajar di pesantren Al-Hidayah.
Oma memaksa Ann untuk mau tinggal bersamanya di London, karena ingin lebih dekat dengan cucunya itu. Selama ini Oma selalu ingin Ann bisa berkumpul dengan saudara-saudaranya yang lain di London. Ann sekarang sendirian, itu yang membuat oma ingin lebih memperhatikannya. Sedangkan perusahaan milik Ann untuk sementara diambil alih oleh Rosa dan suaminya yang akan mengirim orang-orang kepercayaan mereka ke Jakarta untuk memegang perusahaan peninggalan Radit.
Saat ini Ann tidak ingin duduk menjadi pengganti papanya sebagai pimpinan tertinggi perusahaannya. Ann tidak siap, dan memang tidak ingin terlibat di dalam perusahaan keluarganya. Karena itu ia menyerahkan kepengurusan perusahaan keluarganya kepada Rosa dan suami tantenya itu.
Sita hanya menunduk sedih mendengar penjelasan Ann tentang kepergiannya dari pesantren. Asyifa yang duduk di sebelahnya, mengambil napas berat.
"Kamu harus tetap istiqomah ya Ann."
Ann menggenggam erat tangan Asyifa yang berada di atas meja teras ruang guru.
"Insyaallah kak, aku akan selalu memegang niatku. Kalian jangan khawatir aku pasti akan berkunjung meskipun mungkin setahun sekali."
Asyifa membalas menggenggam erat tangan Ann, ia akan kehilangan seseorang yang sudah ia anggap adik sendiri.
"Aku tidur sendirian lagi." ucap Sita pelan.
Ann merangkul bahu Sita. "Akan banyak santri-santri baru yang masuk pesantren ini, kamu pasti akan dapat teman baru lagi."