Berjalan kaki di sepanjang Portobello Road membuat senyum di pipinya terus mengembang. Pasar barang antik terbesar ini mampu mengalihkan gelisahnya. Berderet kios-kios barang unik yang menjual pakaian, aksesoris, kerajinan tangan, furniture hingga kamera-kamera klasik. Ann sempat masuk di salah satu kios yang menjual kamera-kamera antik dan melihat-lihat benda favoritnya itu.
Beranjak siang, Ann mencari kafe halal untuk tempat istirahatnya sambil membawa sebuah kamera tua dan beberapa gelang yang dibelinya tadi. Makan Café adalah pilihannya, restoran yang menyediakan makanan dari Malaysia ini langsung membuat perutnya memberontak. Restoran terlihat penuh, beruntung masih ada satu meja yang kosong untuknya di dekat jendela.
Menikmatinya waktunya sendiri sebenarnya menyenangkan, beberapa hal yang menjadi pikiranya perlahan bisa memudar. Salah satunya tentang rindu terhadap papanya yang bisa ia ungkapkan lewat doa, tapi entah kenapa rindunya terhadap Ali masih tertahan di kepalanya.
Setelah memesan makanan, ia melihat kameranya. Memeriksa benda tua yang dari luar masih cukup baik, meskipun masih bisa digunakan Ann tidak akan memakai kamera itu untuk memotret. Karena Ann memang hanya akan menyimpannya bukan untuk digunakan seperti kamera miliknya yang lain.
Ann hampir menjatuhkan kameranya ketika tiba-tiba seseorang berdiri di hadapannya dan bertanya padanya.
"Excuse me, may I sit here?"
Ann mengerjap, menatap gugup pria berambut pirang itu, ia melihat sekitar restoran memang tidak ada tempat duduk kosong selain mejanya.
"Of course please." ucapnya sedikit ragu.
"Sorry to bother, but i really want to eat in this restaurant. And it seems that weekends like this will always be full." Pemuda manis itu menarik kursi di depan Ann lalu duduk dengan lega, seperti senang karena masih bisa makan di restoran ini.
"Oh, you like Malaysian food?"
"I want to try as my friend who used to come here said."
Ann hanya tersenyum kecil, membiarkan laki-laki itu memesan makanan. Ia kemudian tidak bertanya lagi, mengurangi interaksi dengan laki-laki yang baru saja dikenalnya ini. Tangannya kembali sibuk dengan kamera yang masih berada di tangannya. Tapi sepertinya pemuda asing ini tertarik dengan apa yang dilakukan Ann dan kembali membuka pembicaraan.
"Good camera, I like the design, Leica right?"
"Yes, Leica DRP Gold 1936." Jawab Ann singkat.
Melihat gadis yang baru dikenalnya seperti kurang nyaman, pria ini menyadari sikapnya yang terlalu banyak bicara.
"Sorry, I talk a lot huh?" Laki-laki ini tersenyum, memperlihatkan lesung pipi yang menghiasi senyumnya.
"Oh, it is okay."
Kalau saja, bukan Ann yang duduk di depannya. Pasti banyak gadis yang meleleh dengan senyum maut dari pria asing ini. Tapi Ann hanya melihatnya sekilas, kemudian sibuk dengan makanan yang terhidang di mejanya.
Pemuda itu juga terlihat lahap dengan makanan pesanannya. Tapi lama-lama Ann merasa canggung juga hanya mendengar denting suara alat-alat makan mereka.
"Anda dari Indonesia ya?" Suara pria itu terdengar lagi, yang membuat Ann membesarkan matanya, kaget dengan pertanyaan pria di depannya dengan bahasa yang dikenalnya.
"Ya, saya dari Jakarta." Sahut Ann senang karena bertemu dengan orang yang satu berbahasa dengannya.
"Saya lihat ada stiker bendera Indonesia di casing hape anda."
Ann melirik hapenya, lalu tersenyum. "Apa anda juga dari Indonesia, bahasa Indonesia anda bagus sekali."
"Mamanya saya dari Jawa, papa Inggris."
Ann mengangguk, lalu meneguk minumannya.
"Saya Stephen, kalau boleh saya berkenalan."
"Saya Annalisa, panggil saja Anna."
Dan obrolan ringan pun mengalir dari keduanya.