Di rumah kiai Hasan yang letaknya berseberangan dengan pesantren, seperti biasa di meja makan sudah duduk Asyifa, umi dan kiai sendiri untuk makan malam.
"Akbar udah kasih kabar lagi belum?" Tanya kiai kepada Asyifa. Piringnya sudah penuh dengan nasi dan lauk.
"Tadi sore kak Akbar telepon lagi, katanya dia pulang akhir bulan ini." Asyifa baru menata makanannya.
"Umi sudah ingin kita berkumpul lagi sama Akbar. Empat tahun Akbar nggak pulang, rasanya kangen banget." Sahut Umi.
"Sebentar lagi umi, kak Akbar akan segera lulus." Asyifa tersenyum pada uminya.
"Apa Akbar pulang nanti, sekalian bawa calon ipar kamu nggak ya?"
Asyifa terkekeh. "Umi, kak Akbar kuliah bukan buat cari istri tapi cari ilmu."
"Sekalian Syifa, kalau bawa sendiri kan kita nggak repot-repot nyariin dia calon gitu."
Kiai dan Asyifa tertawa kecil.
"Umi takut, kelamaan belajar Akbar nggak nikah-nikah."
"Ada waktunya umi, kita nggak bisa memaksakan jodoh harus ada besok kan?" sahut Kiai Hasan.
Umi kemudian menoleh pada Asyifa. "Kamu sendiri, udah ada calon belum?"
Asyifa gelagapan dengan bingung. "Belum umi."
"Kamu sudah cukup umur untuk menikah lho. Udah mau dua lima kan? Umur segitu, umi udah punya Akbar." Goda umi lagi.
Asyifa melambatkan kunyahannya, isi kepalanya mendadak teringat Ali. Kalau boleh Asyifa meminta jodohnya, ia ingin sekali laki-laki itu yang akan menjadi imamnya. Selama ini Asyifa jarang berhubungan dekat dengan laki-laki, karena selain sibuk mengurus pesantren hatinya juga rasanya tidak bisa ke lain hati. Ingin sekali ia memberitahu tentang perasaannya kepada orangtuanya, tapi Asyifa takut mereka tidak memberi restu, karena Ali bukan dari keluarga kiai seperti dirinya.
Kiai Hasan menyelesaikan makan malamnya dengan meneguk minumannya. Ia lalu bertanya pada Asyifa.
"Kamu benar belum punya calon?"
Asyifa menggeleng, menyakinkan.
Kiai menjeda ucapannya. "Kalau abah meminta kamu untuk taaruf dengan Ali, kamu mau?"