Ali akhirnya bisa bernapas lega setelah keluar dari pesawat yang membawanya terbang ke negara Ratu Elizabeth ini. Meskipun wajahnya masih terlihat memerah karena gugup dan gelisah yang dirasakannya selama berada di dalam pesawat.
Senyum Ann yang terlihat beberapa meter darinya berhasil menenangkannya. Tapi rasa takut di wajahnya sempat terlihat Ann yang membuat gadis itu terkekeh ketika Ali menghampirinya.
"Kenapa nggak bilang kalau takut naik pesawat."
"Hah, nggak kok. " Ali meraba wajahnya yang mungkin terlihat kusut. "Bukan takut, hanya... belum terbiasa."
Ann hanya berjalan mendahului dengan senyum kecil di bibirnya.
Keduanya segera meninggalkan bandara, untuk mengantar pemuda yang pertama kali menginjakkan kakinya di negara tersebut ke sebuah penginapan yang dekat dengan rumah oma.
"Kak Ali yakin nggak mau nginap di rumah oma aja?" Tanya Ann di tengah perjalanan sambil menyetir.
"Tidak Ann, ingat kita belum muhrim tidak baik kalau kita satu rumah. Walaupun hanya untuk sebentar, tapi kita tidak tahu kan... takutnya... "
"Takut nanti kak Ali diam-diam datang ke kamar aku ya?"
Ali hampir tersedak ludahnya sendiri dengan ucapan Ann barusan. Mukanya kembali memerah, membuat Ann tertawa melihatnya.
"Maaf pak ustad." Ann merapatkan bibirnya takut melepas tertawanya lagi. Ia kembali fokus menyetir sementara Ali diam-diam tersenyum sendiri.
"Takut kena fitnah maksudnya. Oh ya Astrid dan Keyla kemana?"
"Lagi nungguin di restoran. Setelah cek in dulu kita langsung makan malam ya. Besok baru ke rumah oma."
Ali mengangguk, lalu menatap jalanan yang mulai gelap.
.
Ali sendiri tidak tahu kekuatan apa yang membuatnya bisa berani berada di tengah-tengah keluarga besar Ann saat ini. Ada sepuluh orang yang siap menginterogasi pemuda yang berani melamar salah satu anggota keluarga ini.
Ali menelan ludahnya sebelum ia mulai berbicara tentang niat baiknya untuk meminta jiwa dan raga Ann. Ann sendiri yang duduk di apit oma sama Rosa, menggenggam erat tangannya sendiri untuk menghilangkan kegugupan yang sama dengan pemuda di depannya.
Dengan bismillah, Ali mulai mengutarakan maksud kedatangannya dengan hati-hati.
Dan semuanya berjalan dengan lancar ketika akhirnya mendapat senyum dari semua yang hadir di ruangan itu. Semua setuju, semua merestui membuat Ann hampir menjatuhkan air matanya karena bahagia. Begitu juga dengan Astrid dan Keyla yang duduk paling belakang, yang sesekali menyusut hidung mereka dengan tisu.
Kiai Hasan telah memberikan beberapa nasihat kepada Ali tentang bagaimana caranya menghadapi keluarga perempuan dan beberapa hal penting yang harus dibahas dalam acara lamaran tersebut. Mengingat tidak ada perwakilan seorangpun dari pihak Ali, hingga Ali sendiri yang harus bisa mewakili semuanya. Kiai yakin Ali bisa melakukannya sendiri, karena niatnya yang begitu besar bisa memberikan kekuatan yang besar pula saat momen mendebarkan seperti ini.
Kiai Hasan sendiri yang menghitung dan memberikan tanggal untuk hari pernikahan Ali dan Ann. Dan keluarga besar Ann juga setuju dengan tanggal itu. Tidak ada perayaan besar hanya ijab kabul yang akan dilakukan di pesantren. Dan makan bersama sebagai bentuk syukuran setelahnya.
Oma menatap bergantian sepasang manusia yang berwajah penuh cinta itu. Hanya melihatnya saja, oma tahu keduanya memang saling mencintai.
"Sepertinya, oma akan ikut pindah ke Indonesia."
Semua yang hadir disana mengalihkan perhatian kepada sesepuh di keluarga besar itu.
"Oma yakin?" tanya Rosa kaget.
Ann juga menatap oma, seperti menanyakan hal yang sama dengan tantenya.
"Teman-teman sosialita oma gimana nanti?" lanjut Rosa.
"Ah oma sudah tua, sudah waktunya memikirkan akhirat. Tapi oma nggak bakal tinggal satu rumah sama Ann dan Ali, takut ganggu." Oma terkekeh. Membuat Ann dan Ali hanya tersenyum canggung.
"Oma mau beli villa, terus mau dijadiin yayasan disana untuk anak yatim, piatu, dan anak-anak yang tidak mampu agar bisa sekolah dengan baik."
Semuanya menatap oma kagum, paman, bibi dan saudara sepupu almarhum Radit menyaksikan sendiri bagaimana wanita paruh baya yang masih cantik itu membuat keputusan dengan penuh kesadaran dan rasa bahagia yang tercetak di wajahnya.
"Oma, oma beneran?" mata Ann berkabut, membuat oma menggenggam tangannya lembut.
"Iya sayang, ini yang sebenarnya Radit inginkan. Papamu sangat peduli dengan pendidikan untuk anak-anak tidak mampu. Dan oma sama kamu yang akan mewujudkannya."
Ann memeluk oma erat sambil menangis penuh haru, mengingat papa dan mamanya yang tidak bisa melihat langkah besar di hidupnya. Ia akan dipinang oleh laki-laki pilihannya, seharusnya kedua orangtuanya ada di sampingnya untuk menemaninya ketika Ali mengucap ijab kabul. Tapi ia yakin doa baik kedua orangtuanya akan terus mengalir sepanjang hidupnya, yang akan membuatnya kuat menghadapi kehidupan selanjutnya.
Dan Ann percaya, Ali akan bertanggung jawab akan hidupnya. Ia akan menyerahkan segalanya untuk laki-laki itu. Karena laki-laki itu lah yang menyelamatkan hidupnya yang pernah kacau yang sempat membawanya ke dunia malam dan bebas.