Ann sudah kembali ke Jakarta, beserta oma, Rosa dan beberapa anggota keluarga yang sengaja datang ke Indonesia untuk menyaksikan pernikahan Ann. Sembari menunggu keluarga dari pihak mamanya. Mereka nanti akan berangkat bersama ke Bandung sehari sebelum acaranya. Kiai Hasan sendiri sudah menyiapkan rumah di dekat pesantren untuk keluarga Ann menginap.
Sebelum berangkat Ann mengunjungi makam kedua orangtuanya, berdoa dan untuk meminta restu.
Menatap sendu dua makam di depannya, tapi berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata. Ann ingin sekali bercerita kepada kedua orangtuanya bahwa saat ini ia sangat bahagia. Bahwa dua hari lagi adalah hari terpenting dalam hidupnya. Akan ada yang menjaganya, akan ada yang melindunginya dan bertanggung jawab sepenuhnya akan hidupnya. Bahwa, Ann akan baik-baik saja, dengan Allah sebagai tempatnya meminta.
.
Asyifa menyaksikan dari tempatnya berdiri, persiapan pernikahan Ann, ada beberapa santri yang membantu membereskan meja dan kursi-kursi di kantin untuk digunakan makan bersama besok. Akad sendiri akan dilaksanakan di masjid besar pesantren.
Gadis ini sudah menerima kenyataan dan merelakan perasaannya untuk Ali terbang bersama angin. Hanya satu yang ia pegang teguh, ketentuan Allah, apapun jalan takdirnya ia percaya Tuhan telah menyiapkan jodoh terbaik untuknya. Maka ia melangkah meninggalkan tempatnya berdiri dengan perasaan yang lebih baik, berjalan terus menuju rumahnya.
Belum sampai tangannya membuka pintu rumah, dari arah depan terdengar suara mobil berhenti. Asyifa menengok dan melihat seseorang keluar dari taxi online tersebut.
"Assalamu'alaikum."
Matanya langsung berbinar. "Kak Akbar!"
Pria tinggi dengan senyum yang menghembang itu segera menghampiri Asyifa dan memeluk adik kesayangannya itu.
"Alhamdulillah, kakak sudah pulang." Asyifa menjauhkan kepalanya, memperhatikan kakaknya yang tidak berubah. Meskipun sudah hampir lima tahun mereka berpisah.
"Apa kabar kamu? Pangling banget ya sekarang." Akbar mencubit pipi Asyifa gemes.
"Kenapa nggak ngasih tahu mau pulang hari ini, kan bisa dijemput di bandara."
"Kayak bocah aja pake dijemput. Oh ya umi sama abah di rumah atau di pesantren?"
Belum Asyifa menjawab, satu orang lagi turun dari mobil yang masih menunggu itu. Satu pemuda menyapa ingatan Asyifa, gadis ini seperti tidak asing dengan wajahnya.
"Kamu masih ingat nggak sama Fathir, putra dari Kiai Malik?" Tanya Akbar sambil menunjuk pemuda yang menghampiri mereka.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikum salam..." Asyifa masih mengingat-ingat.
"Dulu waktu smp kita kan pernah belajar di pesantren Ar-Rahman." Akbar menambahkan.
"Oh iya kak Fathir, Syifa ingat."
Si pemuda yang disebut namanya tersenyum, kemudian mengikuti kakak beradik itu masuk ke dalam rumah. Asyifa kemudian mencari-cari Kiai Hasan dan Umi yang kebetulan sedang berada di dapur.
Pertemuan antara orangtua dan anak yang berpisah selama hampir lima tahun itu membuat Asyifa ikut terharu melihat umi yang menangis bahagia karena putra satu-satunya itu sudah kembali dari mencari ilmu di negara Mesir.
Abah dan umi berbincang sebentar dengan Akbar dan Fathir di ruang tamu.
"Nak Fathir, bagaimana kabarnya? Baru saja minggu kemarin saya dan umi mengunjungi kiai Malik." tanya Kiai Hasan.