Hari ini adalah hari paling bersejarah dalam kehidupan Muhammad Ali Rajeka dan Annalisa Hermawan. Dua manusia yang sudah tidak memiliki kedua orangtua, tapi berusaha untuk kuat dan melanjutkan napas mereka dengan caranya masing-masing. Keduanya terpaut sesuatu yang kasat mata, yang hanya bisa dilihat oleh hati mereka. Tuhan telah mengikat tautan itu dengan sebuah pernikahan.
Berbalut gaun pernikahan berwarna putih yang cantik, Ann berulang kali mengatur nafasnya dan berdoa. Disampingnya laki-laki yang telah siap membawanya masuk ke dalam kehidupannya tampak fokus mendengar Ijab dari wali hakim.
Begitu tangannya di sentak, dengan lantang Ali berhasil mengucapkan Kabul dalam satu kali tarikan napas.
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."
Membuat dada Ann bergemuruh kencang bahagia. Membuat hadirin mengucap hamdalah dengan perasaan lega yang membuncah di dada Ali.
Ali melirik Ann yang memberinya senyuman haru. Gadis yang pernah dibencinya karena kelakuan bar-barnya. Perempuan itu sekarang sudah sah menjadi istrinya, wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya dan wanita yang akan menemaninya ke surga.
Sentuhan tangan pertama dari keduanya ketika dengan lembut Ann mencium tangan yang sudah menjadi suaminya ini. Tatapan cinta yang menggelora tak bisa disembunyikan, ketika Ali mencium kening Ann dan membacakan doa-doa di kepalanya.
Kiai Hasan dan Umi menahan air mata mereka, melihat anak yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri menemukan kebahagiaannya. Rasanya seperti baru saja melepas tugas mereka sebagai orangtua. Tidak jauh berbeda dengan oma dan Rosa, melihat Ann bahagia tanpa didampingi kedua orangtuanya membuat keduanya menaruh kepercayaan kepada Ali untuk tidak pernah menyakiti gadis yang mereka sayangi itu.
Menjelang ashar keseluruhan acara telah selesai, para santri ikut bahagia karena mereka bisa menikmati hidangan yang cukup jarang mereka makan selama di pesantren. Ini semua karena oma, yang memesan catering dari restoran ternama untuk menjamu tamu dan santri hari ini.
Setelah solat ashar keluarga Ann kembali ke rumah sewaan untuk istirahat, begitu juga dengan Ali dan Ann yang diantar Keyla dan Astrid pulang ke rumah sederhana Ali yang berjarak sekitar lima menit dari pesantren.
Ini juga pertama kalinya Ann tahu rumah Ali. Rumahnya bersih dan asri, Ali memang ahli tanaman, maka di samping rumahnya ada kebun kecil yang ditanami banyak sayuran dan buah. Ini adalah rumah peninggalan satu-satunya orang tua Ali, sedikit-sedikit Ali memperbaiki dan memperindah rumahnya menjadi seperti sekarang. Hanya ada dua kamar tidur, ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi.
"Baiklah pengantin baru, kita udah ya sampai sini aja. Takut ganggu." ujar Astrid sambil melirik Keyla. Mereka hanya mengantar sampai di teras.
"Kalian mau langsung pulang ke Jakarta?" Tanya Ann.
"Nggak, kita mau kembali ke pesantren." Jawab Keyla sambil mencium pipi Ann.
"Ada yang ketinggalan?" Ali ikut nanya.
"Iya ada, nomor hapenya kak Akbar." Keyla tertawa sambil nunjuk-nunjuk ke arah Astrid yang melengos malu.
Ali dan Ann ikut tersenyum, mereka melambai ke arah mobil yang mulai meninggalkan pekarangan, lalu masuk ke dalam rumah.
Bau rumah ini seperti berada di puncak gunung, bau cemara dengan hawa sejuk yang membuat orang betah berlama-lama di dalam selimut. Ann sangat menyukainya, terasa nyaman walaupun ia sendiri tidak terbiasa dengan rumah seperti ini. Di dinding hanya ada satu foto tergantung, potret kedua orangtua Ali semasa hidup. Ayahnya sangat mirip sekali dengan Ali, dan tatapan ibunya begitu lembut membuat Ann ingin sekali memeluknya seandainya wanita itu masih hidup.
"Kamu pasti lelah, mau saya bikinin teh hangat?"
Ann cukup terkesiap karena masih fokus menatap foto itu. "Tidak usah, biar saya sendiri yang membuatnya."
Ali mengangguk, ia membawa koper yang berisi pakaian Ann ke dalam kamar utama dan Ann menuju dapur untuk membuat minuman hangat untuk mereka berdua.
Dua gelas teh jahe manis untuk dua orang yang ingin sedikit meluruskan kaki. Keduanya duduk santai sambil sesekali menyeruput minuman hangat itu.
Ali menatap ragu tangan Ann, sebelum ia kemudian meraih tangan itu untuk digenggamnya. Ann membiarkannya, merasakan hangatnya tangan besar itu membungkus tangannya. Ali kembali mencoba memberanikan diri untuk menyentuh wajah manis di depannya. Ia masih gugup padahal mereka sudah halal untuk melakukan kontak fisik dengan pasangannya.