Kalau saja bukan karena Papa, tentu saya tak akan pernah meninggalkan tanah Jailolo, Halmahera Barat, dan terdampar di sebuah daerah asing seperti saat ini. Makassar. Beda pulau, beda bahasa pula. Meski katanya, lelaki itu sosok yang tangguh, tapi sepertinya tidak berlaku pada saya. Saya sampai harus terlunta-lunta hanya untuk makan dan bertahan hidup di Kota Makassar ini. Semua gara-gara saya lebih memilih menuruti ego. Dan hasilnya, sekarang saya agaknya menyesali keputusan tersebut. Tapi, untuk kembali ke tanah di mana saya pernah dilahirkan itu pun rasanya sudah sangat terlambat. Apalagi kalau harus mengingat muka Papa yang merah menahan marah. Tanpa tahu, ada yang terluka dari hal itu.
Saya masih ingat betul kejadian waktu itu. Amarah Papa tiba-tiba meledak-ledak di teras rumah kami. Katanya, gara-gara capek menghadapi sifat saya yang keras kepala. Mungkin Papa lupa kalau saya ini anaknya, sehingga salah satu sifatnya juga menurun pada saya. Saat itu, bukannya saya tidak mau mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Papa yang kerap menguarkan aroma tembakau terbakar, hanya saja lebih tepatnya saya bosan. Bukankah kata orang, sabar itu ada batasnya? Maka saya rasa, sore itu, kesabaran saya sudah habis. Barangkali kesabaran Papa pun demikian. Hingga amarah kami sudah sampai ke pusat ubun-ubun dan siap meledak.
Saya masih ingat betul kalau sore itu jam di ruang tamu menunjukkan pukul empat sore. Sedang Mama, tengah menyeduh kopi rempah pesanan Papa di dapur. Aromanya sampai-sampai menelisik ke dalam rongga hidung, lalu menguar ke mana-mana. Papa yang baru saja mengerjakan salat Asar, masih dengan mengenakan sarung kotak-kotak favoritnya, duduk di teras—di sebelah pot berisi bunga bugenvil. Di tangan lelaki berusia akhir lima puluhan itu, terselip sebatang rokok kretek yang baru diisap sepertiga bagian. Dan saya, cuma bisa mengamati apa yang beliau lakukan dari kursi rotan yang dipisahkan meja kecil di sebelahnya.
Lima menit berselang, Mama belum juga menyuguhkan kopi pesanan Papa. Di atas meja kecil tadi, belum ada apa-apa selain kotak rokok yang tinggal berisi tiga batang kretek.
“Berapa lama lagi ngana bikin kopi, Ambar?” Dengan suara agak dibesarkan, sebab jarak teras ke dapur memang lumayan jauh. Papa menagih.
Papa memang terkenal selalu menyukai minuman hitam pekat itu. Apalagi kopi dengan merek ternama yang rutin beliau beli setiap bulan dari Ternate. Kopi yang diseduh dengan gula tak lebih dari satu sendok.
“Lama betul. Tara enak kalau isap rokok tanpa minum kopi,” lanjut Papa sambil melipat sebelah kakinya di atas kursi.
Beruntung, sampai saat ini yang menular dari sosok Papa pada saya hanya keras kepalanya, bukan kedua hobi tadi: merokok dan minum kopi. Dibandingkan menikmati dua benda yang rasanya aneh di lidah itu, saya lebih suka berlama-lama menghabiskan waktu dengan main game online di depan gawai, atau paling tidak mendengarkan musik yang diputar dari laptop.
“Ngana belum dapat panggilan kerja? Ditolak lagi?”
Saya cuma mengangguk.
“Masak tra ada yang mau terima ngana buat kerja di perusahaannya?”
“Belum. Namanya juga usaha.”