MENCARI TENANG

Aldi A.
Chapter #2

DUA: SCARLET

Suasana Bandara Sultan Babullah, Ternate, cukup ramai. Setelah kemarin saya katakan kalau keputusan saya untuk merantau ke tempat Andi sudah benar-benar bulat, pagi tadi, Mama turut menyeberang dari Jailolo ke Ternate. Tak lupa, beliau juga memaksa Papa untuk ikut mengantar kepergian saya ke tempat yang menurutnya teramat jauh.

Dan kini, di depan pintu keberangkatan, Mama masih tampak sibuk menghapus sudut matanya yang basah. Berkali-kali. Hingga lembaran tisu yang kesekian itu mendarat di dalam kotak sampah. Sedang Papa, hanya duduk muram di salah satu deretan kursi. Bukankah seharusnya Papa bahagia atau berpesta pora ketika mengantar kepergian saya? Padahal, jelas-jelas ini adalah kemauannya yang terus-terusan menyuruh saya mencari kerja jauh dari rumah, agar tak melulu berada di dekat ketiak Mama. Oh, barangkali ini gara-gara Mama yang memaksanya untuk ikut mengantar. Padahal kemarin Papa sudah bilang kalau ia tidak bisa mengiring lantaran tengah ada urusan bisnis penting dengan salah satu pengepul pala.

“Ngana benar-benar mau pergi? Ngana yakin?” Lagi-lagi Mama menanyakan keputusan saya.

Menggangguk, saya langsung menjawab pertanyaan Mama tadi. “Yakin, Ma. Sangat yakin, malah.” Sengaja saya lirik Papa. Wajahnya masih saja terlihat tak senang.

“Torang berdua su tua, Nak. Gampang sekali sakit-sakitan. Apa ngana tega tinggalkan torang?”

Setitik kristal bening kembali luruh dari sudut mata Mama yang mulai keriput. Ada tiga gurat lelah yang terpampang di sana. Sedang Papa, langsung membuang muka. Saya tahu kalau ia pasti tak suka melihat saya yang lagi-lagi dimanja dan dilarang pergi di detik-detik terakhir.

“Ini semua ngana pe salah, Pa.” Mama malah menghakimi Papa yang sejak tadi hanya diam membisu.

“Bukan, Ma. Benar apa Papa bilang. Arga su besar. Su waktunya merantau ke daerah orang.” Saya berusaha berkata bijak, lebih tepatnya menutupi kegugupan yang meraja di dalam dada. Padahal, kalau boleh jujur, saya hanya berharap kalau Papa juga menahan saya untuk pergi, seperti apa yang dilakukan Mama. Meski rasanya itu pastilah mustahil.

Benar saja, Papa masih tetap diam. Sedang saya sendiri, terlalu gengsi untuk membatalkan kepergian. Apa kata Papa nanti? Bisa makin panas telinga saya kalau harus mendengar segala ocehannya kelak. Hingga kemudian, saya cuma bisa meremas tiket di tangan dengan agak keras ketika waktu boarding kian mendekat. Saya pasrah. Dan pada akhirnya memutuskan untuk segera berpamitan dengan Mama dan Papa. Tanda kalau saya sudah benar-benar menyerah.

“Hati-hati ngana di sana, Ga. Jaga sikap dan diri ngana baik-baik. Jaga juga kesehatan. Jangan lupa salat.” Itu kalimat penutup yang saya dengar dari Papa hari ini setelah berjam-jam beliau memilih mengunci rapat-rapat bibirnya yang terlihat kehitaman. Yang aneh, Papa berujar dengan nada lirih, tak seperti intonasi keras biasanya.

Di sela langkah menuju pintu keberangkatan, kembali saya tolehkan wajah ke arah Papa. Di detik terakhir itu, diam-diam saya masih sangat berharap Papa memanggil nama saya dan meminta maaf karena telah bersikap keras selama ini. Tapi, rupanya hal itu tak pernah terjadi. Hasilnya, saya terpaksa kembali melanjutkan langkah kaki menuju meja check in dengan mata basah. Air mata yang sedari tadi coba saya bendung, akhirnya pecah juga. Merupa bah. Bahkan lebih basah dari tangis Mama barusan.

“Ngana kuat, Arga! Ngana pasti bakal baik-baik saja!” Saya berusaha menguatkan diri sendiri. Dengan ujung jaket, saya hapus butiran air yang meluncur membasahi pipi. Setelahnya, saya tarik napas dalam-dalam dan kembali berjalan pelan dengan sisa-sisa keyakinan.

Di atas pesawat, pikiran saya buntu. Ketakutan-ketakutan yang selama ini bersemayam ketika memikirkan saya akan jauh dari rumah, kembali berkuasa. Mungkin benar kata Papa, bahwa saya terlalu manja pada Mama. Selalu berlindung di balik ketiaknya. Kali ini, sudah saatnya saya buktikan pada Papa dan diri sendiri, kalau saya juga bisa hidup mandiri.

Setelah menempuh hampir dua jam penerbangan dengan gusar, udara panas Bandara Hasanuddin langsung menyambut kedatangan saya dengan terik matahari yang menyengat kulit. Begitu saya aktifkan ponsel di dalam saku, sebuah pesan dari Andi langsung merangsek masuk. Ia bilang, dirinya sudah menunggu di depan pintu kedatangan.

Lihat selengkapnya