“Akan kuajak kamu berkeliling. Setelah ini, kamu bebas membuat keputusan apakah kamu mau bekerja di tempat ini atau tidak. Terus terang, cuma pekerjaan di tempat ini yang bisa kuusahakan untukmu. Itu pun hanya sebatas sebagai seorang pelayan.”
Saya diam beberapa saat, meski tahu kalau saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk berpikir. Mengingat kedatangan saya yang tiba-tiba ke Makassar ini saja rasanya sudah akan sangat merepotkan Andi ke depannya.
“Di tempat ini, kamu akan menemukan hal baru yang mungkin tidak pernah kamu temui sebelumnya, Ga.” Andi mulai mendorong pintu kaca yang menyambut kami di bagian lobi. Sedang barang bawaan saya dari rumah ke Makassar yang memang tidak seberapa jumlahnya, telah Andi titipkan di warung sederhana di seberang jalan tadi. Dari gelagatnya, sepertinya Andi sudah cukup mengenal si pemilik warung dan kerap nongkrong di sana. “Barangkali, di dalam, kamu juga akan menemukan pandangan baru mengenai orang-orang yang bekerja di tempat ini dan mereka yang berkunjung ke sini.”
Saya yang mengekor di belakang, hanya bisa mengedarkan pandangan ke segala penjuru bangunan yang didominasi warna kuning, hijau dan ungu itu. Meski tak dapat dimungkiri kalau di dalam kepala, masih terpikir tentang apakah keputusan saya untuk pergi ke Makassar ini sudah tepat atau justru salah. Bayangkan, di hari pertama saya menginjakkan kaki di Kota Daeng ini saja, saya sudah harus masuk ke sebuah tempat yang dikatakan Andi menyimpan banyak pelacur. Saya benar-benar dipeluk bimbang, sekaligus ragu. Tak ketinggalan, kecemasan tiba-tiba membuncah. Lebih besar dari sebelumnya.
Pada saat begini, untuk menghibur diri, saya langsung memikirkan hal yang pastinya jauh lebih buruk dari berada di Scarlet: duduk di teras rumah bersama Papa sembari mendengarkan ocehannya yang menusuk.
Biarpun demikian, setidaknya hari ini, untuk kali pertama, saya akan mengambil keputusan sendiri tanpa bayang-bayang dan intervensi Papa. Ini hidup saya, dan mulai sekarang saya berhak menentukan apa yang akan saya jalani ke depannya. Memulai semua dari awal. Meski dengan berat hati terpaksa harus mengesampingkan gelar sarjana Ekonomi yang saya raih dengan susah payah untuk sebuah pekerjaan waiter. Toh, pikir saya, tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Bukankah hidup ini perlu proses dan bertumbuh? Kalau tidak dicoba, siapa yang bakal tahu saya mampu untuk melewatinya atau tidak. Seperti kata Andi tadi, mungkin dari tempat ini, saya akan menemukan banyak pengalaman dan hal baru. Juga pandangan penting dalam hidup. Meski bayang-bayang tentang para pelacur yang banyak mendiami tempat ini lagi-lagi mengusik kepala. Berkelindan, hingga pelan-pelan membikin ubun-ubun saya berdenyut.
Saya harus membuktikan pada Papa kalau saya bisa!
***
Waiter!
Suara mesin pemanggil yang terpasang di langit-langit bangunan terdengar nyaring. Di salah satu alat yang berbentuk persegi, tertera angka 18, menandakan bahwa pengunjung room bernomor 18 sedang membutuhkan kehadiran seorang waiter. Mungkin mereka sedang ingin memesan makanan atau minuman seperti yang saya pelajari selama beberapa hari ini.
Segera saja saya berlari kecil dari ujung station. Menyusuri setiap lorong untuk menuju ruangan yang sedang membutuhkan kehadiran saya. Sebuah tempat karaoke esek-esek berkedok karaoke keluarga—yang pada akhirnya menjadi tempat kerja saya sekarang. Barangkali, kalau Papa tahu keputusan saya ini, ia akan menghajar saya habis-habisan. Begitu pun Mama, beliau juga sudah barang tentu akan marah besar.
“Ngana bodoh atau tolol! Su sekolah tinggi-tinggi, tapi ujung-ujungnya jadi babu!” Saya yakin Papa akan memaki demikian. Tapi, sudahlah. Biarlah ini menjadi rahasia saya saja. Pun sudah saya katakan pada Mama di kampung halaman sana, kalau saya sudah diterima bekerja sebagai staf accounting di salah satu pusat perbelanjaan.