Mencarimu

Bentang Pustaka
Chapter #1

Satu

"Ketika cinta ini gagal bersemi di suatu tempat, dia akan terbang dan menemukan tempat tumbuh yang baru."

Matahari

AKHIRNYA! Setelah tiga tahun kucari jalan untuk menembus dunianya, kudapati juga celah itu. Kini aku bekerja di salah satu kantornya, di redaksi majalah Jelajah, sebuah majalah bulanan yang memfokuskan diri pada serba-serbi aktivitas travelling.

Untuk sampai ke tempat ini, aku memupuk niat setiap hari, menjadikannya sekeras batu. Tanpa banyak bicara aku belajar menulis dan fotografi secara autodidak. Menurutku, itulah modal jika ingin berada di area yang sama dengannya. Sebab, ijazah Sarjana Seni Pertunjukan-ku sepertinya tak terlalu berguna untuk melamar menjadi reporter di Jelajah maupun beberapa media miliknya yang lain.

Lelaki yang sedang kuburu ini memang seorang raja media walaupun kerajaannya masih kecil karena dia belum memiliki stasiun televisi. Tapi, kepemilikannya atas dua buah majalah, sebuah koran, sebuah percetakan, dan sebuah stasiun radio yang digandrungi anak muda Jakarta, cukuplah membuatnya bagai raja. Dia memiliki kekuasaan, setidaknya bagi orang-orang yang bekerja kepadanya.

Obsesiku untuk bertemu dengan laki-laki itu memang serupa kegilaan. Rindu dan benciku seperti memberikan nyawa atas pilihan langkahku, yang selama ini kurahasiakan. Tak ada yang tahu alasan sesungguhnya mengapa aku meninggalkan Yogya, yang dianggap banyak orang sangat klop dengan jiwaku. Kutinggalkan teater yang kulahirkan tiga tahun lalu, padahal teater itu sedang manis-manisnya bagai gairah remaja. Kuabaikan teman-teman yang sudah menganggapku bagai saudara sejak bayi, sampai hafal acara harianku dari pagi sampai pagi lagi. Kuberanikan juga meninggalkan Ibu, sendirian.

“Kok, ke Jakarta, sih, Ri? Bukannya kamu nggak suka? Katamu, Jakarta itu kota paling kering sedunia, paling kejam, paling hedonistik, paling ruwet ...,” kata Ibu ketika mendengar keputusanku sekitar sebulan lalu.

Ibu mengernyitkan dahi. Menghentikan kesibukannya memilih motif kain perca untuk desain tas terbarunya. Melihat Ibu dalam setting seperti ini, niatku justru kian bulat.

“Aku cuma mau ngetes, bisa nggak menghadapi tantangan-tantangan hidup di Jakarta. Nanti, sih, pasti balik Yogya lagi,” jawabku sambil ikut memilah potongan-potongan kain berdasarkan jenisnya dari kantong besar berisi perca, yang diantar seorang penjahit teman Ibu.

“Ngapain juga pakai ngetes segala, Ri ...? Kamu tahu pasti, Yogya ini lebih nyaman untuk hidup daripada Jakarta. Meski sudah mulai padat, Yogya ini masih memanusiakan manusia. Kita masih sempat tersenyum dan tertawa di sini.”

Yogya memang nyaman, Bu, tapi tidak sempurna. Sebab Yogya juga masih memiliki rongga untuk air matamu.

“Ibu merasa aneh saja. Kok, tiba-tiba kamu pengin kerja di Jakarta. Padahal, di sini kamu punya pekerjaan yang baik di rumah budaya. Meski hasilnya nggak mewah, yang penting cukup. Kamu masih punya waktu untuk menekuni hobi. Main teater, menulis cerpen, membuat film dokumenter, dan macam-macam lagi. Mana mungkin kamu bisa begitu kalau ngantor di Jakarta? Di sana kamu nggak sempat ngapa-ngapain untuk diri sendiri. Mana macetnya minta ampuuun ....”

Aku tertawa. Mudah-mudahan tidak terdengar sengau.

“Iya, Bu, nggak ada yang senyaman Yogya. Tapi, aku perlu variasi. Sekadar menambah wawasan dan menguji kemampuan saja,” kataku, tak berani menantang mata Ibu yang bagiku selalu tampak misterius karena menjadi saksi sejumlah kisah.

Ibu menghela napas, terdengar berat. Tentu, aku tahu Ibu keberatan dengan keputusanku bekerja di Jakarta. Sebab akulah satu-satunya teman Ibu di rumah. Memang ada beberapa pekerja di bengkel percanya, tapi mereka tidak bermalam. Bisa kubayangkan, Ibu pasti akan kesepian. Siapa yang akan menemaninya mengobrol setiap kali menjelang tidur? Siapa yang akan dijadikannya sasaran omelan setiap kali merasa sumpek? Siapa yang akan membuatnya bersemangat masuk dapur untuk membuat sarapan jika “aku si pemakan segala” tak ada?

Ibu single parent. Hanya ada Ibu dan aku dalam keluarga inti kami. Memang ada Eyang dan banyak saudara, tapi mereka hanya sesekali datang ke rumah. Teman-teman juga ada, tapi mereka adalah orang lain. Bagi Ibu, hanya akulah teman yang paling nyata setiap saat. Ah, tidak juga sebenarnya ... masih ada seorang sahabat sejati lagi.

Aku memahami keberatan Ibu. Ibu bukan hanya menakutkan kesepiannya. Sepertinya Ibu juga mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan yang tak ingin dibayangkannya akan terjadi kepadaku. Ibu seolah bisa mengendus sesuatu yang sedang berlangsung diam-diam, tapi tak tahu pasti apa. Naluri seorang ibu, kutahu sedang bekerja memasang jaring-jaring pengaman.

Akan tetapi, aku tak bisa melulu menyetujui ketenangan Ibu. Dalam dua dekade terakhir sepertinya hidup Ibu terlalu tenang dari urusan cinta. Itu aneh. Menurutku, hati manusia itu harus naik-turun, ada masa tenang dan ada masa beriak. Jadi, jika hanya tampak tenang selama bertahun-tahun, itu artinya Ibu sedang bersandiwara. Itu kamuflase. Mana mungkin Ibu riang gembira menjadi single parent jika diam-diam termenung memandangi bulan menjelang dini hari? Omong kosong jika menjadi single parent adalah cita-citanya. Oh, aku bukan tak setuju dengan sikap perempuan-perempuan lain di luar sana yang memutuskan tak menikah atau menjadi single parent. Aku tahu mereka punya alasan. Tapi, Ibu bukan mereka. Ibu itu seniman. Selain perajin perca, Ibu juga pemain biola walau sudah bertahun-tahun biolanya tak tersentuh. Jiwanya romantis, tentu membutuhkan cinta. Jadi, aku yakin Ibu sedang setia berahasia.

Maka, di sinilah aku kini. Sedang mengusik Ibu, juga sedang berusaha menguak tabir gelap yang selama ini mungkin dianggap sebagai pengaman. Ibu keliru jika mengira aku akan diam saja seumur hidup, seperti dirinya. Ibu tak boleh lupa bahwa dalam diriku juga mengalir jenis darah yang lain. Yaitu, darah lelaki yang sedang kuburu ini.

Dia, Irsal Mahangka. Nama yang bagus, wajah bagus, citra bagus, juga karier yang bagus. Serbabagus. Tentu, itu penilaian orang lain. Tapi, tidak menurutku. Dia justru lelaki paling pengecut sedunia. Kalau bukan pengecut, apa namanya jika dia tak mengakui cintanya kepada Ibu dan melupakan benih yang pernah ditanamkan pada rahimnya?

Lelaki itu konon bapak biologisku. Tak ada buktinya memang. Sebab, nama yang tertera dalam akta kelahiranku justru nama yang lain. Yaitu, Banyu Sregep.

***

Seingatku, Banyu Sregep pun tak menjadi bagian inti dalam keluarga. Dalam kenanganku yang samar, aku tak pernah memanggilnya Bapak. Aku justru mengenalinya sebagai salah seorang teman dekat Ibu yang kadang-kadang datang membawa segudang cerita. Aku memanggilnya Om Dud, mengikuti Ibu yang biasa memanggilnya Dud. Menjelang remaja, barulah aku paham, nama itu berasal dari kata udud. Om Dud memang senang ngudud, merokok. Dia persis lokomotif, selalu berasap. Tapi, kini tidak lagi. Merokok hanya sesekali, untuk kepentingan pergaulan. Katanya, paru-parunya sudah bolong-bolong, padahal dia masih ingin hidup seribu tahun lagi. Om Dud dan Ibu tak pernah memberitahuku perihal nama aslinya, dan aku pun tak penasaran. Sebab dia hanya sesekali datang. Nama Om Dud kurasa sudah cukup.

Aku baru mengetahui bahwa Om Dud dan Banyu Sregep itu orang yang sama ketika aku SMP. Bukan Ibu atau Om Dud yang memberi tahu, melainkan koran. Aku membaca riwayat lengkap Om Dud yang baru saja dinobatkan sebagai Aktor Panggung Terbaik Yogyakarta. Tercetak jelas foto, nama populer, dan nama aslinya. Nama aslinya adalah Banyu Sregep. Kontan aku kaget. Sebab, Banyu Sregep adalah nama yang tercetak dalam akta kelahiranku. Aku menghafal nama itu sejak kali pertama memegang akta kelahiran, yaitu ketika hendak mendaftar masuk SMP. Jadi, begitu aku membacanya di koran, aku langsung ingat. Uh, jadi selama ini aku sudah dibohongi. Apa maksudnya?

Ketika aku kanak-kanak, Ibu pernah bilang bahwa Bapak bekerja di Arab Saudi dan mereka sudah bercerai. Dari Mbok Tum tetangga sebelah, aku mengerti bahwa bercerai itu berpisah bukan karena mati, melainkan karena kawin lagi. Aku benci Bapak. Mengapa harus kawin lagi jika Ibu masih ada dan aku belum punya adik?

Meski demikian, urusan Bapak ini tak menjadi masalah besar buatku. Sebab, dari kecil, sejauh aku bisa mengingat, sosok Bapak tidak betul-betul diperlukan. Ibu bisa mengambil alih semua kewajiban Bapak, dari mulai mencari uang sampai membetulkan alat-alat listrik dan menambal bak mandi yang bocor. Sekolahku pun lancar dan bisa membeli baju baru setiap menjelang Lebaran.

Tanpa Bapak, aku tidak merasa sengsara. Sebab Ibu selalu tersenyum, bahkan kerap mengajakku tertawa. Hidupku aman-aman saja. Jadi, ya sudahlah. Kuterima ketidaklengkapan dalam keluarga sebagai takdir.

Akan tetapi, perasaan normal itu tentu tercabik setelah aku tahu bahwa Banyu Sregep adalah juga teman Ibu yang bernama Om Dud itu. Dia ada. Dia biasa datang walaupun tak rutin setiap minggu atau bulan. Dia melihatku tumbuh. Tapi, mengapa mereka tak ingin aku mengetahui siapa dia sesungguhnya? Apakah dia membenciku? Memangnya apa salahku? Mengapa Ibu lebih suka aku tak mengenal Bapak? Apa, sih, tujuan persekongkolan gila ini? Apa pun persoalan yang mereka hadapi, tak seharusnya mereka membuatku tak memiliki bayangan tentang wajah bapakku. Suami-istri boleh bercerai, tapi tidak demikian dengan orangtua dan anak.

Pertanyaan-pertanyaan tak menyenangkan itu menemukan muaranya ketika Om Dud datang berkunjung beberapa hari kemudian. Dia membawa sekantong salak pondoh dan sebuah seringai lebar yang terlihat riang sebagai buah tangan. Tapi, buah tangan itu tak meluluhkan hatiku. Marahku sudah berwarna merah.

Maka, ketika mereka berdua sedang menertawakan sebuah lelucon konyol di teras samping, kusodorkan koran itu sambil berkata tajam, “Kalau Ibu dan Om Dud bisa tertawa bersama macam ini, lalu untuk apa bercerai dan menyembunyikan dariku soal siapa Om Dud dan Banyu Sregep sebenarnya?”

Ibu langsung bungkam. Tapi, Om Dud mengajakku bicara. Itu pembicaraan orang dewasa pertama bagiku. Lelaki itu membeberkan sebuah kisah, yang kuanggap sebagai bujukan saja. Dia bilang bahwa bercerai bukan berarti harus bermusuhan. Katanya lagi, dia kerap datang karena rindu menengokku. Menurutku, itu absurd. Jika rindu, mengapa tak pernah menyapaku dengan sebutan “anakku”? Mengapa dia lebih suka menyebutku sebagai Matahari Ibu dan tak pernah sebagai Matahari Bapak? Ketika kutanya mengapa harus ada perceraian, jawabnya agar Ibu lebih tenang. Sebab dia itu tipe laki-laki nomaden, tak bisa disiplin untuk pulang ke rumah setiap hari. Jadi, daripada Ibu selalu curiga dan makan hati, lebih baik perasaan Ibu dibebaskan saja supaya hatinya lebih ringan. Jadi, mereka pun bercerai sebelum aku genap berumur dua tahun.

Tak masuk akal. Bagaimana mungkin ada seorang lelaki yang mau membebaskan perasaan istrinya dari hatinya? Bagaimana mungkin Ibu menerimanya demi kehidupannya sendiri nan tenang? Dan, bagaimana mungkin mereka tak memikirkan keberadaanku?

Kalian gila, itu komentarku kepada mereka. Mereka tak menyanggah, tidak juga mengiyakan. Mereka tetap melanjutkan kehidupan masing-masing, tanpa benturan. Mereka tetap bisa bersahabat, saling mendukung, dan saling mendoakan. Apakah mereka saling mencinta? Aku tak tahu. Sungguh hubungan aneh.

Karena Ibu dan Om Dud tampak baik-baik saja dalam kondisi semacam itu, akhirnya aku menerima juga. Aku berhenti merasa aneh dan berpikir macam-macam. Mungkin sudah takdirku, punya orangtua yang lebih senang menjadi sahabat daripada bersatu dalam perkawinan. Aku hanya berdoa, semoga aku tak mewarisi sikap itu.

Sebagai pribadi yang terpisah, sebenarnya aku mengagumi keduanya. Ibu adalah perempuan kuat, mandiri, cantik, dan kepeduliannya pada seni membuatnya tampak indah dalam kebersahajaan. Dan, Om Dud, semakin tahun, namanya semakin dikenal sebagai aktor teater berkarakter kuat. Dia adalah ikon, tapi tetap bersahaja. Karena yakin dengan darah seni yang dialirkan keduanya dalam diriku, aku memutuskan kuliah di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogya, Jurusan Teater. Kecuali urusan rumah tangga, aku bangga kepada keduanya.

Akan tetapi, dalam bentuk hubungan yang mulai tampak bisa kuterima itu, tiba-tiba aku tercabik lagi. Ketika itu aku sudah setahun menjadi mahasiswi ISI. Aku mengetahui fakta lain tentang Bapak. Fakta baru yang membuatku seratus kali lebih kaget, marah, dan sedih. Om Dud atau Banyu Sregep itu ternyata hanya bapak secara hukum, bukan bapak biologisku. Ya Tuhan, siapalah aku ini sampai persoalan asal usul benih saja dibuat sedemikian rumit?

Hal itu bermula ketika diam-diam aku menyaksikan Ibu menangisi sebuah foto dalam koran. Foto seorang lelaki—tak terlalu jelas kulihat wajahnya, tapi kutaksir bukan remaja lagi—yang ada dalam halaman “Nama dan Peristiwa”. Ibu tak tahu saat itu aku mengendap-endap di belakangnya.

Jelas, aku penasaran dan sibuk menduga-duga. Lelaki itu pasti seseorang yang penting. Mungkin berhubungan dengan kisah cinta yang selama ini selalu Ibu sembunyikan.

Sesuatu tentang Ibu akan selalu membuatku ingin tahu. Meski sudah sembilan belas tahun bersamanya, Ibu sangat pelit membagi kisah-kisah muram. Sepertinya Ibu hanya ingin memberiku cerita-cerita menyenangkan. Tentu saja aku tak bisa ditipu. Dengan model kehidupan rumah tangga yang aneh macam ini, tentu ada banyak luka di sana sini. Pasti ada alasan yang membuatnya tak ingin memiliki seorang suami. Sudah pasti, alasan itu menyakitkan.

Esoknya kucari koran itu di segala penjuru rumah sampai ke tong sampah. Tapi, aku tak menemukannya. Mungkin Ibu menyembunyikannya atau membakarnya. Hal itu justru membuatku makin penasaran. Pasti ada sesuatu antara Ibu dengan tokoh itu. Akhirnya, aku berkeliling kios koran mencari koran kemarin. Dan, aku mendapatkannya. Setengah kalap kucari halaman terakhirnya.

Dalam rubrik “Nama dan Peristiwa” terpampang empat foto. Semuanya foto orang terkenal. Tapi, di halaman itu hanya ada satu foto laki-laki dewasa. Selebihnya adalah istri presiden, penyanyi remaja yang sedang naik daun, dan seorang lagi artis Hollywood.

Satu-satunya foto lelaki itu adalah Irsal Mahangka. Bukan wajah dan nama yang asing bagiku. Beberapa kali aku membaca tentangnya di media. Dia adalah jurnalis cemerlang yang kini memiliki beberapa media cetak dan radio. Siapakah dia sehingga mampu membuat Ibu menangis diam-diam? Mustahil jika Ibu hanya seorang fans-nya.

Aku menduga kuat, sosok Irsal itu berasal dari masa lalu. Sebab, biasanya masa lalulah yang dapat membuat kita mudah menitikkan air mata hanya dengan melihat fotonya. Karena kuyakin dia berkaitan dengan masa lalu, aku tahu siapa yang harus kudatangi untuk menggali informasi. Tentunya sahabat abadi ibuku, yang waktu itu masih kuyakini sebagai bapakku. Om Dud.

Aku bukannya usil ingin mengorek cerita pribadi Ibu. Hanya saja, waktu itu aku memiliki dorongan teramat kuat untuk tahu. Selain karena selalu merasa haus tentang sejarah hidup Ibu, aku juga memiliki firasat, ada cerita besar yang seharusnya kuketahui tentang lelaki itu.

Om Dud mungkin mau membantuku. Toh, selama ini aku belum pernah memohon bantuannya.

***

Pada sore gerimis itu aku mendatangi rumah joglo Om Dud yang juga dijadikannya sanggar. Kebetulan dia sedang sendirian saja. Jadi, aku bisa lebih leluasa mengajaknya bicara tentang Irsal Mahangka.

“Nama itu sudah dikubur, Ri. Jangan tanya-tanya ibumu soal nama itu lagi. Jangan sampai nama itu jadi setan gentayangan lagi baginya. Sudah cukup,” ucap Om Dud muram, setelah pertanyaanku membuatnya mematung sekian lama.

Aku meraba sesuatu. Firasatku makin memantul-mantul.

“Dia bukan siapa-siapa. Mengapa penasaran mau tahu?” lanjut Om Dud enggan.

“Kalau bukan siapa-siapa, mengapa bisa membuat Ibu menangis? Ibu, kan, jarang menangis. Kalau sampai menangis, berarti ada sesuatu. Dan, sesuatu itu bukan soal yang kecil.”

“Hei ..., jangan menganggap ibumu terlalu kuat. Dia bukan malaikat. Dia itu perempuan biasa yang bisa menangis kapan saja.”

Aku menggeleng. Menantang mata lelaki yang masih saja belum bisa benar-benar kupahami jalan pikirannya.

“Salah. Ibu bukan perempuan biasa. Nggak ada perempuan biasa yang mau saja menjadi single parent tanpa alasan yang jelas. Jadi, sudah pasti dia itu luar biasa. Dan, perempuan luar biasa nggak boleh menangisi hal-hal biasa. Itu hukumnya haram.”

Om Dud membelalak. Sepertinya sangat ingin menjewerku. Tapi, dia hanya tegang mematung, satu meter persis di hadapanku.

“Kamu mau mengadili aku, heh ...?” desisnya.

Aku tertawa parau. “Nggaklah. Apa pun urusan kalian, aku sudah nggak ambil pusing lagi. Aku justru mau tahu soal Irsal ini. Urusan apa yang sudah dibuatnya sampai Ibu rela menangis begitu? Aku harus tahu supaya punya alasan untuk membiarkan Ibu menangis.”

Om Dud mengembuskan napas berat. Seberat rahasianya, mungkin.

“Sudahlah, Ri. Mending kamu urus saja teater yang baru kamu buat. Nggak ada gunanya mengurusi soal Irsal yang nggak jelas itu. Dia bukan siapa-siapa.”

Aku tahu, Om Dud menyembunyikan sesuatu. Ada getar dalam suaranya. Hal yang sangat jarang kudengar dalam percakapan biasa. Aku makin mendesaknya.

“Kasihan, ya, Ibu. Orang spesial saja bisa menceraikannya, apalagi orang biasa, tentu boleh membuatnya menangis. Aku nggak paham mengapa orang-orang merasa berhak menganggapnya nggak berharga ....”

Mata Om Dud kontan berkilat. Menatapku tajam.

“Jangan ambil kesimpulan kalau kamu nggak tahu yang sebenarnya. Bagiku, ibumu itu perempuan paling berharga di dunia setelah ibuku sendiri, tahu. Tapi, dia nggak mau aku ada dalam kehidupan pribadinya ...,” bantah Om Dud bagai tak berdaya, tak sinkron dengan matanya.

Aku tertegun. Mengingat kembali bagaimana Ibu jatuh-bangun mengusahakan agar aku bisa makan cukup gizi dan tidak minder dengan teman-teman lain. Ada banyak saat tak menyenangkan yang sebenarnya tidak perlu dilewati, jika Ibu tak memaksa “sendiri”. Untuk apa Ibu menolak Om Dud, seseorang yang seharusnya memikul tanggung jawab itu? Hah, aku merasa sedang menghadapi misteri cinta bersisi seribu.

“Aneh. Kalau kalian punya cara hidup yang nggak lazim begitu, lalu untuk alasan apa aku dibuat ada? Aku benar-benar nggak paham ...,” desisku. Tak kusangka, ternyata aku hidup di tengah simpul kegilaan dua orang aneh.

Om Dud menghela napas berat, melengos, lalu beranjak menjauh dariku. Dia berdiri dekat jendela yang terkuak lebar. Entah apa yang dipandangnya di luar sana. Posenya itu membuat kegeramanku sedikit melunak. Tahu apa aku soal isi hatinya?

“Baiklah. Lupakan pertanyaan-pertanyaanku. Bukan soal penting. Aku akan cari tahu soal Irsal Mahangka dari orang lain. Kalau perlu, akan kutanya langsung kepada orangnya.”

Aku pun balik badan, siap pergi. Percuma aku menunggunya membuka tabir rahasia Ibu. Meski sedikit sinting, kutahu dia sangat setia terhadap apa yang diyakininya. Jika dia bisa tahan pergi dari rumah selama bertahun-tahun, bagaimana aku bisa berharap dia tak tahan menghadapi satu jam rengekanku?

“Riii ....”

Lihat selengkapnya