Mencarimu

Bentang Pustaka
Chapter #2

Dua

Rakho

Owan itu sahabatku. Sahabat edan. Dia sinting dari zaman putih-biru. Oh, ya, sejak SMP dia memang sekolah di Jakarta, dititipkan kepada seorang uaknya yang jadi tentara dan dikenal galak. Itu karena bapaknya di Sumedang sudah angkat tangan. Di kampungnya Owan terkenal suka bikin onar dan tak mempan nasihat atau hukuman. Maka, bapaknya pikir, Owan bisa dikendalikan jika ditangani tentara. Tapi, panggang jauh dari api. Di rumah dia memang alim, tapi di luaran ... dia itu biang kerok. Rajanya biang kerok, hahaha.

Saat teman-teman lain baru berani coba-coba membolos, dia sudah berani membuat kabar bohong bahwa otaknya kekurangan cairan, jadi tak boleh panas-panasan mengikuti upacara bendera tiap Senin. Konon, dokternya memvonis umurnya tinggal setahun lagi. Alhasil, yang lain mengeluh dan bau kambing di lapangan, dia bisa duduk-duduk santai di kantin, minum teh dan makan mi goreng. Bahkan, Bu Siwi, guru Matematika yang gemar beternak kengerian, tak pernah menyuruh Owan maju mengerjakan soal di papan tulis. Mungkin takut otak Owan yang kurang satu ons itu pecah berhamburan. Dia pasti tak mau ada murid mati saat dia mengajar. Dasar gila Owan itu. Wajah bisa disetel sesuai kebutuhan. Kadang memelas macam yatim piatu, kadang sangar persis preman pasar gelap.

Kami bersahabat bertahun-tahun. Nongkrong bareng. Bolos bareng. Jalan-jalan bareng. Sering kerja sama juga. Terutama, untuk urusan yang ilegal. Setelah kuliah—karena beda universitas—kami tidak bisa sering bareng lagi. Tapi, selalu disempatkan travelling bersama minimal sebulan sekali. Belum bisa bepergian jauh karena masih bokek. Begitu lulus, janjian ketemu makin susah karena aktivitas sudah beda. Aku beberapa kali pindah kantor, sedangkan Owan memilih setia menggelandang di perjalanan. Meski pilihannya itu dianggap tak lazim dan menyia-nyiakan umur (begitulah kata emaknya), kini dia memetik hasilnya. Dialah salah seorang backpacker Indonesia yang paling membuat penasaran. Tulisan perjalanan dan foto-foto bidikannya tersebar luas dan rutin, sementara profilnya sendiri sengaja dibuat misterius. Foto pribadinya jarang tampil. Memang gila dia, membiarkan orang-orang tambah penasaran.

Aku sudah janji ketemu Owan malam ini. Mau ngobrol. Tapi, tahu-tahu cewek itu muncul. Cari perkara dia. Kenapa baru muncul pukul segini? Pasti dia sembunyi sesiangan, menghindariku, ketakutan. Aku yakin, orang-orang sudah mencekoki otaknya dengan mengatakan bahwa aku ini kejam dan suka menganiaya anak buah. Macan, vampir, serigala, ular tedung, buaya loreng, entah apa lagi label mengerikan ditempelkan kepadaku. Memang kru-kru Jelajah ini sadis kalau bercanda. Tapi, baguslah. Aku jadi punya alasan untuk menyiksa. Haha, selamat datang di Jelajah!

Matahari. Aku masih ingat namanya. Sudah kenalan beberapa minggu lalu. Tapi, aku belum sempat kasih dia tugas. Itu dosa besar. Jadi, dia sajalah yang wawancara Owan. Biar dia cepat paham bagaimana sebenarnya bekerja itu.

Seperti prediksiku, dia memelotot ketika kuberi tugas itu. Dia gentar. Tak tahulah, itu gentar terhadapku atau gentar karena hari sudah mulai malam, hahaha. Tapi, dia harus berani menghadapi dua-duanya. Dia harus belajar. Sebab dia bekerja di majalah travelling, Man, bukan majalah fesyen. Dunia di luar sana bisa lebih ganas daripada ini.

Hei, ini sekadar tes keberanian. Aku tak benar-benar akan melepasnya sendirian. Aku akan membantunya. Bukan apa-apa, aku khawatir juga kalau cewek berpenampilan manis dan lugu ini kenapa-kenapa di jalan. Diperkosa, misalnya. Aku bakal terseret masuk bui. Sori, ya.

Maka, kutelepon Owan.

“Ngus, masih di rumah, kan?” Ngus, kependekan dari hangus karena dia berkulit sangat cokelat akibat terlalu sering terpanggang matahari dan tak selalu bisa mandi.

“Masihlaaah. Kapan nyampe sini? Aku sudah mulai bosan, nih, menunggu siluman labil macam kamu!”

“Hahaha, sabaaar. Sebentar lagi juniorku datang interviu. Cewek. Namanya Matahari.”

“Ha? Tahu bukan kamu yang datang, mending aku pergi ke rumah Juleha.”

“Siapa itu? Pacar?”

“Ah, kalau saja aku lahir dua puluh tahun lebih awal, pasti aku kawinin, tuh, Juleha. Sayangnya, dia sudah punya cucu, hahaha. Tadi siang dia nyuruh datang ke rumahnya, katanya bikin tapai uli. Hadoh, itu tapai uli lekker banget. Enaknya ngalahin seribu bibir bidadari. Rugi banget kalau kehabisan!”

“Dasar Anguuus! Macam pernah merasakan bibir bidadari. Makanya, jangan keluyuran terus biar sempat cari pacar. Lelaki yang nggak pernah pacaran itu bego, tahu. Menyia-nyiakan karunia Tuhan.”

“Halaaah ..., khotbah basi!”

“Haha, terserahlah dengan urusan bidadari tukang tapai uli-mu itu. Yang penting, sekarang kamu online. Kali aja dia hubungi kamu lewat email. Dia, kan, nggak tahu alamat dan nomor handphone. Aku lepas dia sendirian. Sebagai training.”

“Apa? Cewek itu ke sini sendirian malam-malam begini? Dasar kriminal. Kamu tahu, kan, rumahku susah dicari dan sebelahan dengan kuburan tua? Cemerlang benar selera humormu, ya, Kho! Gila!”

“Hei, hei, jangan keterlaluan underestimate dengan perempuan-perempuan kita, ya. Mereka juga bisa berani. Bukan cuma perempuan Afrika yang tahan banting. Lagian, yang dihadapinya cuma jarak, manusia iseng, dan setan gentayangan. Bukan jurang tegak lurus, virus mematikan, macan, atau buaya kelaparan.”

Setelah dua menit Owan mengoceh dan bersumpah serapah macam orang tak kenal sekolah, kumatikan Blackberry. Yang penting dia sudah berjanji tak akan mematikan dan berjauhan dengan laptop, ponsel, dan segala macam tetek bengek gadgetnya agar segera tahu jika Matahari mencoba menghubunginya. Sebab, meski sering dianggap sadis, aku tak ingin Matahari kesulitan menuju Jalan Pucuk Makam yang membuat merinding itu. Hahaha.

***

Matahari bukan anak Jakarta. Dia pasti belum hafal jalan. Apalagi, malam hari. Mungkin dia akan dua kali lebih panik dibandingkan siang.

Apalagi, kulihat potongan tubuhnya rapuh. Mungkin karena badannya tidak tinggi besar, tidak berotot, dan tidak punya tato. Dia ramping dengan tinggi standar, belum lagi wajahnya bagai bocah tak berdosa, mirip daun muda yang menyembul di antara embun pagi. Halah, kenapa bahasaku jadi puitis? Ngaco. Intinya, dia ini terlalu hijau untuk menghadapi kekejaman para hantu (jika hantu itu menyamar sebagai manusia bejat).

Maka, kuputar balik mobilku. Bukannya mau membatalkan tugas Matahari. Aku hanya ingin memantau dari jauh. Aku tak ingin bermasalah dengan keluarganya jika terjadi hal buruk kepadanya. Sebab sebenarnya aku ini orang baik. Percayalah.

Di trotoar di depan restoran yang terang benderang tadi Matahari sudah tak ada. Kontan aku deg-degan. Huh, bagaimana jika dia langsung ditemukan pencoleng? Hah, tenang, tenang. Jangan mikir horor. Kujalankan mobil perlahan, menyisir jalan. Nah, itu dia. Kutemukan dia duduk di meja depan di sebuah kafe kecil. Sepertinya tangannya sedang sibuk. Mungkin memijit-mijit ponsel, tablet, atau laptop, entahlah. Pasti dia sedang berusaha menghubungi Owan. Bagus.

Kubelokkan mobil ke sebuah toko buku yang letaknya hanya loncat satu toko dari kafe kecil itu. Kuparkir mobil di tempat yang tak terlalu mencolok, berjajar bersama mobil sejenis dan berwarna sama pula, hitam. Semoga Matahari tak memergoki mobilku, kecuali dia sengaja mencarinya dengan mata memelotot. Itu juga kalau dia stalker. Aku pun segera melompat turun dan berdiri dekat parkiran motor. Dari sini aku bisa melihat area parkir kafe itu.

Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit. Huh, kura-kura juga dia. Lama benar aksinya. Harus dilempar petasan juga rupanya.

Setelah satu jam lewat, ketika aku mulai bosan mengajak juru parkir tersenyum sambil mengacungkan jempol, barulah kulihat Matahari melangkah menuju trotoar. Kemudian, dia berdiri menunggu. Beberapa kali kepalanya dijulur-julurkan ke arah kanan. Persis angsa cari pasangan. Mencari taksikah? Atau, bus kota?

Sekarang sudah pukul 19.30. Jika lalu lintas lancar, mungkin dia bisa sampai di rumah Owan pukul 22.00. Cukup larut untuk mendatangi rumah seorang lelaki yang biasa akrab dengan alam liar tanpa perempuan cantik. Cantik? Hahaha, ya ... Matahari tergolong cantik jika dibandingkan perempuan-perempuan suku di gurun. Sebab, Owan itu orang Indonesia, tentu standar cantik menurutnya itu lebih kurang samalah dengan lelaki kebanyakan di negeri ini.

Heh, mungkin aku sudah keterlaluan, seperti kata Owan. Sepertinya tugas ini kurang aman. Sebaiknya, Matahari kuberi tugas lain saja yang bisa didatangi siang hari. Mungkin Pulau Onrust di Kepulauan Seribu, tempat kompleks makam tua orang-orang Belanda. Ya Tuhan, tapi mengapa ada makam lagi? Kacau.

Brrrmmm!

Seorang pengendara motor berhelm cakil menepi, berhenti persis di depan Matahari. Gadis itu mendekat. Mereka pun bercakap-cakap. Melihat gayanya, sepertinya mereka saling mengenal. Aku menyipitkan mata. Apakah pengendara motor itu temannya? Atau, pacar? Atau, tukang ojek? Aku tak bisa menebak karena lelaki itu hanya menaikkan kaca helm, tidak melepasnya. Tidak sopan.

Tak lama motor itu bergerak membawa Matahari. Melewati toko buku tempatku berdiri. Sekilas, sempat kulihat Matahari tersenyum. Senyum itu sangat lebar. Sepertinya lelaki itu sudah berhasil membuatnya senang. Huh. Ternyata, dia centil juga. Dasar perempuan!

***

Aku tak jadi menguntit Matahari. Dia tak sendirian pergi ke rumah Owan. Dia pergi bersama laki-laki yang bisa membuatnya tertawa riang. Aku sedikit tenang. Mungkin dia akan aman selama perjalanan. Kalaupun terjadi sesuatu antara dia dengan lelaki helm cakil itu akibat dipengaruhi para hantu, itu hanya bisa terjadi jika keduanya menginginkan.

Gila! Mengapa aku sampai berpikir sejauh itu? Jauh benar. Ngawur. Aku rasa Matahari itu bukan perempuan gampangan. Dia tak akan membiarkan dirinya dalam bahaya. Dia pasti sudah memikirkan segala tindakannya. Meski lugu, kelihatannya dia tidak bodoh. Hah, tapi dia masih muda. Mungkin masih labil, bisa jadi dia tak berpikir panjang sebelum ambil keputusan. Siapa yang bisa menjamin dia takkan teperdaya?

Gila! Konyol! Tolol! Mengapa jadi memusingkan Matahari? Dia, kan, bukan bayi. Sudah sarjana, artinya sudah lebih dari dua puluh tahun. Sudah dewasa. Dia pasti sudah berpengalaman menghadapi berbagai situasi. Tak mungkin dia lugu-lugu amat. Yogya, kan, salah satu pusat perubahan. Tak mungkin kota sekaliber itu menghasilkan produk manusia kuper yang tak memahami pergaulan lelaki-perempuan. Siapa tahu dia juga sudah pengalaman.

Pingpong beragam pikiran yang berpantulan di kepala sukses membuat cemas. Pikiran positif tak bisa meredam pikiran negatif. Yang negatif itu justru berkibar-kibar merebut dominasi. Dalam otakku gadis itu sudah habis dikerjai Si Cakil, lalu ditinggalkan di tepi jalan dengan pakaian berantakan. Itu salahku kalau sampai terjadi.

Kutelepon lagi Owan.

“Halo ..., Ngus, Matahari sudah kontak?”

“Sudaaah ....”

“Dia nelepon?”

“Baru email. Tapi, aku sudah kasih nomor handphone. Jadi, kalau nyasar, dia bisa nelepon aku. Kenapa? Ada masalah?”

“Nggaklah. Cuma mau tahu, dia mangkir atau nggak dari tugas.”

“Memangnya dia tipe mangkir?”

“Nggaklah. Eh, belum tahu. Kan, baru mau dites.”

“Ya sudah, kita tunggu saja.”

“Tentu. Tapi ....”

“Ada apa lagi?”

“Nggak ada. Cuma ... telepon aku kalau dia sudah datang.”

“Hahaha ..., kamu takut, kan? Takut dia ada apa-apa di jalan? Makanya, hati-hati kalau ngetes anak gadis orang. Kalau dia sampai lecet, kamu bisa dilaporkan, lalu masuk penjara! Aku nggak bisa nolong selain jingkrak-jingkrak di depan sipir!”

“Heh, jangan doa ngawur, ya, Ngus! Parah!”

Kemudian, setelah isi telepon makin kacau karena Owan menghamburkan begitu banyak adegan seram sambil terbahak-bahak, koneksi kuputus. Menelepon Owan ternyata malah membuat galau. Sebab, dia gemar mengembuskan hawa horor. Pantas saja rumahnya dekat kuburan.

Lepas dari Owan, aku menelepon Mbak Endah, sekretaris redaksi Jelajah. Aku belum tenang jika belum mendapat kabar tentang Matahari.

Lihat selengkapnya