Matahari
Aku terpaksa menyingkir ke balkon agar pembicaraanku dengan Ibu tidak menyambar-nyambar telinga Hero maupun Mbak Endah yang sekarang ini sedang semangat mengobrol di mejaku. Ibu menelepon. Suaranya terdengar histeris campur sedih. Ibu memberondongku dengan puluhan pertanyaan beruntun. Dia sedang mengorekku.
“Riii ..., untuk apa jauh-jauh kerja di Jakarta kalau hanya jadi tim artistik sinetron? Katamu nggak suka sinetron? Kok, sekarang malah kerja di situ? Mending balik Yogya, Ri. Kemarin ada Mas Guntur datang, ngajak kamu garap film layar lebar. Lebih menantang, kan? Ya? Balik, ya?”
“Bu, masa belum sebulan kerja sudah minta berhenti? Malu, ah.”
“Ya, nggak apa-apa, mumpung tanggung jawabmu belum banyak. Ya, Ri ...?”
“Belum bisa sekarang, Ibu Sayang. Setidaknya aku harus tiga bulan di sini.”
“Riii ...? Lama benar ...!”
“Ibu tenang saja. Aku baik-baik saja, kok. Aku juga senang di sini. Selalu menyenangkan jika berhadapan dengan pengalaman baru.”
“Ah. Ibu tetap nggak suka kamu ke Jakarta.”
“Ibu ... Ibu nggak sedang berusaha jadi diktator, kan? Aku punya kebebasan mengisi hidupku dengan caraku sendiri, kan? Ayolah, Buuu, jangan khawatir berlebihan. Aku akan jaga diri. Aku akan berusaha nggak mengecewakan Ibu. Aku tahu mana yang boleh dan mana yang haram kulakukan.”
“Hmmm ....”
“Lagi pula, ini bukan kali pertama aku pergi ke luar Yogya, kan? Aku sudah sering juga pergi sendiri.”
“Iya, sih, Ri. Tapi, kali ini Ibu merasa nggak enak. Setiap hari Ibu, kok, ingat kamu terus. Ini bukan sekadar kangen, lho.”
“Ibuuu ....” Oh, sepertinya firasat seorang Ibu mulai bekerja.
“Baiklah, Ri. Maafkan kalau Ibu cerewet, ya.”
“Yang cerewet itu Mbak Septi, Bu. Bunyi terus, mana suaranya cempreng. Oh ya, Mbak Septi jadi, kan, mau tinggal di rumah kita? Daripada kos, kan, lebih baik ikut Ibu saja. Uang transpor jadi bisa ditabung.” Mbak Septi itu salah seorang pekerja di bengkel perca Ibu.
“Iya, katanya besok mulai tinggal di sini. Kemarin, sih, sudah mulai nyicil ngangkut barang-barangnya.”
“Syukurlah. Ibu jadi punya teman ngobrol.”
Setelah menjawab semua pertanyaan Ibu dan meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja, koneksi segera kututup. Telingaku sudah merah dan panas. Selain itu, aku juga khawatir tak bisa lagi menjawab pertanyaan Ibu yang makin lama makin aneh. Bukan aneh sebenarnya, melainkan menggelikan. Selama ini Ibu kukenal sebagai pribadi yang tangguh dan tak memberi tempat pada hal-hal melodramatis. Tapi, semenjak kepergianku dari rumah, Ibu berubah. Kurasa Ibu sudah menjadi mirip saudara-saudara perempuannya. Ibu menjadi mudah panik, kesal, cerewet, sensitif, emosional, dan tak malu lagi merengek. Kutahu, aku pemicunya. Ibu bagai kehilangan sepotong hati. Tentu karena dia mengasihiku. Aku terharu.
Mungkin aku kejam. Membiarkan Ibu menanggung gelisah dan cemas sendirian. Tapi, aku harus menyelesaikan misiku: menemukan Bapak untuk kemudian menghabisi gangguan psikis yang telah memenjarakanku tiga tahun terakhir ini. Ini demi rasa damaiku pada masa depan. Meski untuk itu, aku terpaksa membohongi Ibu dengan mengatakan bahwa aku sedang bekerja dalam sebuah produksi sinetron stripping.
Irsal. Irsal. Huh. Mungkin aku bisa memulainya melalui Rakho. Mereka tentu sering bertemu dan bicara, mungkin juga melakukan perjalanan bersama. Aku ingin menyelinap di antaranya, untuk kemudian lenyap. Sederhana saja. Mungkin terkesan terlalu sepele setelah bagaimana aku mengawali dan mengupayakan jalan untuk bisa sampai di sini. Tapi, tidak sepele bagiku. Bagi jiwaku.
Dddrrrrtttt ... ddrrrrtttt .... Blackberry-ku bergetar. Panggilan dari Rakho. Sakti, baru saja menyebut namanya dalam pikiranku, kini aku sudah terhubung.
“Halo, Mas ...?”
“Lagi ngapain kamu?”
“Berdiri bengong, nggak ada kerjaan.”
“Hei, enak benar begitu? Mau makan gaji buta? Sekarang ke ruanganku saja. Hari ini kamu kerja rodi.”
“Baiklah, daripada dipecat.”
“Sekalian bawa makananmu yang di meja itu. Aku tersinggung nggak dibagi. Hero dan Mbak Endah itu sudah terlalu gemuk, nggak boleh ngemil banyak-banyak.”
“Iya, Mas, masih ada satu plastik, kok.”
“Jangan lama-lama. Aku sudah nggak sabar lihat kamu tersiksa dan melolong minta ampun.”
“Hahaha, pasti pekerjaan yang menyenangkan.”
Ya, setelah episode horor-komedi di rumah Owan tiga hari lalu, hubunganku dengan Rakho berkembang sangat baik. Aku tak lagi memandangnya sebagai lelaki luar biasa keturunan dewa, tetapi sejajar. Aku tak lagi gentar menghadapinya. Kami bisa mengobrol dengan santai dan tertawa bersama. Tapi, meski sudah merasa nyaman satu sama lain, aku tahu diri. Di kantor aku tetap menjaga wibawa Rakho. Aku tidak mengumbar kedekatan yang akan menimbulkan pergunjingan menyebalkan. Tampaknya dia pun demikian.
Perkembangan bagus seperti ini sebenarnya di luar prediksiku. Kukira hubunganku dengan Rakho hanya sebatas atasan-bawahan. Kalaupun akrab, tetap dalam lini profesionalisme. Rasanya akan perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat saling menertawakan dan berceloteh lepas. Atmosfer ringan dan cair seperti ini tak lepas dari andil Owan. Lelaki hitam manis itu bagai garpu pengaduk, mampu melarutkan kristal-kristal batasan.
Hubungan segitiga ini kuanggap keajaiban. Sebab, hanya dalam tempo demikian singkat, tanpa memerlukan proklamasi, tiba-tiba saja kami merasa dekat dan menginginkannya berlanjut. Kami sepakat menjadi orang dekat, bersahabat. Owan bilang, ini terjadi berkat sihir kopi Aceh yang uap wanginya kami hirup bersama malam itu.
Lambaian tangan Mbak Endah yang mengacungkan plastik keripik yang belum dibuka menghentikan celoteh pikiranku. Segera kutinggalkan balkon dan menuju mejaku. Lalu, kuraih plastik keripik itu.
“Yang ini jangan dibuka, Mbak. Sudah ada yang pesan,” kataku buru-buru. “Lagi pula, doyan banget, sih, dengan serangga ....”
Mbak Endah terbelalak. Memandang plastik keripik dengan curiga. “Serangga apaan? Jangan ngaco, ah!”
Aku mengikik. Lalu, pura-pura serius membaca tulisan yang bentuknya mirip-mirip tulisan di dinding-dinding dalam piramida.
“Aku nggak tahu sebenarnya ini keripik apa, Mbak. Aku nggak bisa baca tulisan di bungkusnya ini. Tapi, soal rasanya, kok, mirip dengan peyek laron di Yogya, ya?”
Mbak Endah makin membelalak. Pandangan ngerinya berpindah-pindah antara wajahku dan plastik keripik.
“Jangan bercanda, Ri. Mana ada laron dijadikan keripik?”
“Kalau di Yogya, sih, ada, Mbak. Biasanya dibuat kalau musim hujan. Ribuan laron keluar dari sarang, terbang berkerumun mengelilingi lampu-lampu terang. Lalu, orang-orang menaruh baskom air di bawah lampu itu, menunggu laron-laron berjatuhan. Laron-laron jatuh itulah yang kemudian diolah menjadi peyek. Rasanya enak, mirip dengan rasa keripik ini.”
“Riii, gila kamu, ah! Kok, nggak bilang dari tadi?”
Aku tertawa. “Aku, kan, cuma ngira-ngira, Mbak. Aslinya, sih, aku nggak tahu ini dibuat dari apa. Mungkin juga ini sejenis kacang-kacangan. Bentuknya mirip kacang merah, kan?”
Hero yang sudah duduk di mejanya tertawa terbahak. “Nggak usah nyesal gitu, Mbak. Yang penting, kan, rasanya enak. Mau dibuat dari kacang kek, capung kek, kadal kek, atau telur burung unta ..., itu nggak penting lagi.”
Mbak Endah segera lari terbirit-birit meninggalkan mejaku. Tentu sambil menyumpah-nyumpah. Aku dan Hero kompak tergelak. Meski setelah ini aku waswas, suatu saat Mbak Endah mungkin akan membalasku dengan cara yang lebih gila daripada ini.
Segera kubawa kantong plastik keripik itu menuju ruangan Rakho. Entah bagaimana caranya sampai lelaki itu bisa tahu soal makanan yang ada di atas mejaku. Padahal, meski satu lantai, jarak antara mejaku dan ruangannya itu cukup jauh dan terhalang banyak cubical. Dia pasti punya teropong tembus pandang.
Rakho sedang duduk di kursinya. Punggungnya bersandar di satu lengan kursi, sedangkan kedua kakinya menjuntai di lengan satunya. Dia terlihat santai. Tidak sibuk dengan ponsel, laptop, atau kameranya. Ketika melihatku mendekat, kedua kaki itu segera diturunkan dan menghadapku. Aku duduk di kursi di seberangnya. Kemudian, kuletakkan kantong keripik itu di atas meja.