.
“ Namun kita manusia. Hanya mampu merencana tanpa mampu berkuasa menjadikannya nyata.”
.
Fajar telah menampakkan keelokannya. Berbagi harapan lewat hangat dan silau cahaya. Di luar sana, ayam tetangga terdengar berkokok ria. Siap menyambut hari dengan gelegar suara nyaringnya.
Aku yang masih mengenakan piama dengan kerudung hitam, tengah menyeka peluh di dahi. Mulutku bersenandung ria melantunkan sholawat Hayyul Hadi yang tengah menjadi trending topik itu.
“Afsana?” terdengar teriakan tante Aisyah dari dapur.
Aku, remaja yang masih duduk di bangku SMP segera menyahut. “Iya Tante?” Tanganku dengan cepat menyimpan alat pel lantai yang sejak sepuluh menit lalu menemani, lalu dengan tergesa berjalan menuju tempat tante memasak.
“Kamu lagi apa?” tanya tante Aisyah saat aku sudah tiba di dapur. “Kenapa masih pakai piama? Belum siap-siap?” tanyanya lagi beruntun dengan mata yang kembali fokus pada penggorengan di tangannya.
“Afsa sedang lap rumah Tante. Memangnya kenapa?” tanyaku bingung.
Tante Aisyah menyajikan masakan yang sudah matang. “Ya Allah Afsa, tante kan udah bilang gak usah pel rumah. Kamu siap-siap aja sekolah. Pekerjaan rumah bisa tante yang kerjakan,” protesnya dengan penegasan.
“Tapi kan Tante ..”
“Udah cepat, tinggalin aja pelannya, terus mandi dan segera makan. Makannya sudah hampir matang semua,” titahnya lagi tanpa berpaling dari alat-alat masak yang sebagian sudah menghitam itu.
Tanpa mendebat lagi, aku segera menuruti apa yang tante Aisyah perintahkan. Berjalan menuju kamar, lalu mandi dan bersiap berangkat ke sekolah.
Afsana Hasya Fadhilah, begitu kedua orang tuaku memberi nama. Aku adalah seorang remaja yang tinggal di rumah kerabat. Satu tahun yang lalu, saat aku tamat sekolah Madrasah Ibtidaiyah, kedua orang tuanku memutuskan untuk mengirimku ke kota lain. Tinggal di tempat tante Aisyah, perempuan malang yang sangat baik hatinya.
Tante Aisyah adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah ditinggalkan suaminya menghadap sang Pencipta tiga tahun yang lalu. Usai kepergian suaminya, menyusul anak laki-lakinya pergi meninggalkan seorang diri. Hanif namanya. Aku mengenal Kak Hanif sebelum kepergiannya. Waktu itu, kak Hanif masih duduk di sekolah SMA. “Laki-laki baik,” selalu itu yang aku katakan saat menggambarkan sosok kakak sepupuku, kak Hanif.
**
Aku duduk di kursi makan. Dengan mata tak henti menatap banyaknya makanan yang sebagian masih tante Aisyah tata di atas meja.
“Kamu tahu kenapa hari ini Tante masak banyak?” tanya tante Aisyah membuyarkan kekagumanku.
“Milad kak Hanif kan?” tebakku.
Tante Aisyah hanya menoleh sambil tersenyum. Namun senyuman itu justru membuat Aku merasa bersalah.
“Tante?” tanyaku ragu.