.
“Apa yang kamu takutkan selama kamu masih bisa bersujud pada Allah? Apa yang kamu khawatirkan selama kamu masih bisa menyebut nama-Nya? Allah senantiasa ada untukmu. Yakinkan itu.”
.
Langkah lunglaiku membawa tubuh ini ke depan sebuah rumah yang selalu terasa sejuk. Rumah minimalis yang sangat nyaman bercat tosca itu menyambutku siap meneduhkan.
Perlahan, kubuka gerbang dan membiarkannya begitu saja. Kakiku disambut dengan deretan batu pijakan di tengah rumput yang selalu terasa basah kala dipijak. Mataku sejenak menoleh ke arah kanan. Tempat kolam ikan yang selalu membunyikan riak air, dan bunga warna-warni yang selalu indah kala dipandang. Namun sayang, tak satu pun dari kenyamanan itu membuatku menyunggingkan senyuman.
Perlahan, kubuka pintu dengan kunci yang sudah tante Aisyah berikan sambil menggusur tas beratku. Mata memerah dan bengkakku kini kembali berair saat ruangan rumah sunyi menyambutku.
“Ya Allah!” teriakku sambil terduduk lemas di atas sebuah karpet lembut yang membentang di tengah ruang tamu. Tak lagi mengatakan apa-apa, aku hanya kembali menangis sejadi-jadinya. Menjerit di antara keheningan ruangan yang menjadi saksi bisu atas luka-luka yang menancap di hati dan pikiranku.
Setengah jam ku lalui dengan menangis lemah di tengah ruang tamu. Lima menit yang lalu, adzan berkumandang. Cukup membuatku sadar bahwa bersujud akan menjadi satu-satunya yang paling menenangkan.
Aku terseok menuju kamar. Dengan tubuh lemas, kupaksakan diri untuk segera membersihkan badan dan segera menunaikan Sholat asar.
Selepas berdo’a dan meluapkan segala lelah dan meminta agar Allah memberikan kuat pada jiwa dan raga yang lemah ini, aku hanya terduduk di atas tempat tidur, dan memeluk sebuah album foto yang aku bawa dari rumah saat kepergianku tahun lalu. Selimut hangat membalut kakiku. Sementara mataku hanya memandang kosong ke arah jendela yang terbuka menampakkan taman kecil di luar rumah sana.
Sampai suara pesan masuk ke handphoneku membuat mataku menatapnya dengan malas.
“Kak Arkhan,” ucapku. Dengan tanpa ku sadari seulas senyum sempat hadir di wajahku.
Namun lagi-lagi aku menangis. Tanganku mulai gemetar dan tak bisa mengetik untuk membalas pesan nya.
Tanpa ragu aku memilih untuk meneleponnya. Meski tak pernah aku melalukannya selama ini.
Aku semakin terisak saat suara handphone memberiku sinyal bahwa Kak Arkhan sudah mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum, Afsa?” sapanya dari seberang sana. “Kamu kenapa dek? Kenapa nangis? Ada masalah di sekolah lagi?” kak Arkhan bertanya dengan cemas saat mendengar dengan jelas isak tangisku.
Aku belum menjawab. Hanya berusaha meredakan isak tangisan dan menenangkan diri.
“Ada minum kan? Coba minum dulu. Tenang ya,” perintahnya. Aku segera mengambil sebuah gelas yang tersimpan di atas nakas samping tempat tidur. Perlahan, aku meminumnya. Seperti apa yang kak Arkhan pinta. “Sekarang, coba ceritakan ada apa. Kakak akan mendengarkan,” sambungnya.
Aku menghela nafas dalam-dalam.
“Wa’alaikumussalam kak,” ucapku pelan. “Sebelumnya maafin Afsa udah berani nelpon kakak.”
“Gak apa-apa. Cerita aja,” balasnya.