Mencintai Setiap Luka

Hilma Hasanah
Chapter #3

3. Rumah Nenek yang Ternyaman

.

“Jika rumahku adalah kamu, bukankah yang aku lakukan ini adalah pulang?”

.

Di hadapanku sudah ada mama dan papa yang tak lagi duduk bersebelahan. Sementara kak Arkhan masih berdiri memperhatikan.

“Sebaiknya saya permisi Om, Tante,” pamit kak Arkhan.

Papa menatap kak Arkhan. Lalu beralih menatap bola mataku yang mulai berair. “Sepertinya Afsana butuh teman, Nak. Untuk saya, temani Afsa.”

Aku bersyukur setidaknya meski di hadapan sudah ada perceraian yang siap dia lakukan bersama mama, papa masih peduli padaku.

Kak Arkhan hanya mengangguk. Lalu duduk di sebelah kananku, dengan jarak sekitar dua jengkal tangan.

Sejenak, tak ada suara yang keluar dari mulut setiap orang yang sibuk menata hatinya masing-masing ini. Aku tahu. Mama pasti berat melepas Papa. Dan aku tahu, Papa pasti merasa iba padaku. Dan kak Arkhan, aku yakin dia akan bersiap menguatkanku. Mempersiapkan tenaga dan hatinya untuk segera menopangku yang sebentar lagi ambruk.

“Afsa, mama minta maaf,” ucap mama memecah keheningan. Membuat semua mata memandangnya seketika.

“Apa keluarga kita sudah tahu semua yang kalian rencanakan ini?” tanyaku. Tak menghiraukan permintaan maaf mama. Mataku berusaha kuat menatap mama dan papa bergantian.

“Papa sudah menceritakan semuanya pada seluruh keluarga, Sayang,” jawab papa.

“Agama?”

Papa mengangguk. “Kamu tahu sendiri, keluarga papa beragama yang berbeda. Kita punya pilihan,” jelasnya.

Aku mengangguk. Berusaha menerima kenyataan bahwa mungkin kebersamaanku dengan papa hanya sampai malam ini. Kita tak akan lagi bersama di dunia. Juga tak akan lagi sesurga.

“Kamu menentangnya?” tanya papa kemudian.

“Siapa anak yang tak mau menentang perceraian orang tuanya? Tapi siapa aku yang bisa menghentikan keegoan kalian?” tanyaku.

Aku tahu ini pertanyaan yang pastinya menohok hati mama dan papa. Tak terkecuali kak Arkhan yang langsung menatapku tak percaya karena telah mengatakan hal seperti ini pada kedua orang tuaku. “Aku tak kuasa. Aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa rumah ini tak akan hangat lagi, hidupku ini tanpa ada keluarga lagi, dan hari hariku yang tak akan lagi diiringi do’a yang sama. Juga kenyataan bahwa kita tak akan bersama dalam sehidup semati. Apa yang bisa aku lakukan selain menerima bahwa nyatanya papa sudah memilih tujuannya sendiri. Apa yang bisa aku lakukan selain melihat mama yang akan berjuang sendiri. Apa yang bisa aku lakukan, selain menerima bahwa nyatanya hidupku tak sama lagi?”

Semua terdiam.

Air mataku mengalir tak tertahankan. Kulirik mama. Sama tangisnya sederas aku. Kulihat papa. Sama bingungnya denganku. Kutatap kak Arkhan, sama pasrahnya denganku. Aku hanya menghela nafas jengah sambil menyandarkan tubuh di sebuah kursi sofa yang dulu sempat menjadi tempat paling nyaman untuk kita bertiga bercerita perihal hari-hari melelahkan namun penuh dengan syukur kepada Pencipta yang maha kuasa, Allah Subhanahu Wata’ala. 

“Kalian pilih saja ego kalian. Tak usah hiraukan aku yang semakin hancur menjadi kepingan yang tak lagi berarti ini,” ujarku datar dengan tangan yang mengusap air mata kasar.

Ku lihat mama dan papa saling pandang.

“Khadijah, maafkan semua kesalahanku selama menjadi suamimu,” ujar papa sambil menunduk tak berani menatap mama. “Maafkan aku yang memilih jalan yang berbeda denganmu,” sambungnya lagi. Aku yang mendengarnya, memalingkan wajah ke samping kiri. Tak kuasa menahan air mata yang semakin deras ini.

Mama mengangguk. “Tak apa. Itu sudah menjadi pilihanmu, Mas. Maafkan aku selama menjadi istrimu. Belum bisa menjadi yang terbaik untukmu. Dan maaf juga, aku tak bisa lagi menerimamu yang tak lagi sama denganku.” Mama menjawab dengan air mata.

Aku menyadari sepasang mata tengah menatapku pilu. Sendu. Mata meneduhkan yang kini sama berdukanya denganku. Mata kak Arkhan.

“Kita tetap kedua orang tua Afsana. Kita tetap menjadi orang yang selamanya menyayanginya. Aku harap, kita akan tetap berhubungan baik. Tetap memprioritaskan Afsa dari pada diri kita sendiri,” harap papa pada mama.

Mama mengangguk. “Insya Allah,” jawabnya singkat.

Papa mengangguk. Aku menghela nafas. Membangun sejenak puing-puing hati yang hancur untuk sekedar mengabadikan momen terakhir kebersamaan ini.

“Dengan ini, aku menceraikanmu.”

Tangisku pecah dengan mata yang tak ingin lepas dari mama dan papa. Ingin menjerit namun tertahan. Mama dan papa hanya menatapku sama sakitnya. Namun tak berani sedikit pun menyentuhku sebab tahu akan semakin membuatku hancur saat ini.

Di tengah jiwa yang sekuat tenaga mengumpulkan kepingan hati yang baru saja terkoyak parah, sebuah tangan dengan lembut mengusap kepalaku. Kak Arkhan. Aku menolehnya. Dia hanya memejamkan mata mengisyaratkan agar aku tetap kuat. Melihatnya, aku segera mengubah posisi duduk. Menghadapnya, menatap matanya, menangis kepadanya tanpa mau menatap mama dan papa.

Ingin ku peluk satu-satunya orang yang menguatkanku itu. Namun meski dalam duka yang mendalam aku cukup tahu hubungan kami siapa. Aku hanya mampu menatap matanya. Mencurahkan setiap sakitku padanya. Kak Arkhanpun sama. Menatapku, dengan terus mengelus kepalaku menenangkan. Menguatkan aku yang tak lagi sekuat dulu.

Hancur. Malam ini bahagiaku berhenti di sini.

**

Merah merekah sang fajar terhampar di hadapanku. Terlihat menyembul dari balik bukit di depan sana. Cahayanya dengan manja menyinari riak-riak air danau yang luas. Sesekali memantul dan mengenai bola mataku.

Aku terpejam. Duduk di sebuah kursi di hadapan rumah nenek yang langsung menghadap danau dan bukit yang indah ini. Menikmati kicauan burung di atas pohon rambutan rimbun yang tumbuh di depan rumah besar dan asri peninggalan Alm. Kakek yang meninggal sekitar delapan tahun yang lalu.

“Di minum dulu.” Seseorang menghentikan khayalanku dalam pejaman mata.

“Eh, Bi Zainab. Ya Allah, Afsa ngerepotin banget sih,” sesalku sambil membantu bibi Zainab menyajikan dua gelas teh manis di atas meja. Bibi Zainab adalah istri dari paman Ali, adik kandung mama. Mereka sengaja tinggal di rumah nenek untuk menemani masa tuanya. Keadaan mereka yang tak kunjung menerima amanah seorang anak, membuatnya bisa fokus mengurus nenek dengan baik.

“Ngerepotin apa ah?” canda bi Zainab. Dia langsung duduk pada kursi sampingku. “Lagi apa nih? Pagi-pagi kayaknya udah ngantuk lagi sampai merem-merem segala,” ujar bi Zainab yang langsung ku sambut dengan tawa.

“Nggak lah Bi. Enak aja udaranya. Seger. Bandung jarang gini Bi. Susah kalau mau nyempetin ke tempat kayak gini,” jelasku.

“Ya iya lah. Bandung rumah kak Aisyah kan kotanya,” timpal bi Zainab. “Oh iya, tantemu kemarin malam telepon. Tanya keadaanmu. Dia sudah pulang dari Jakarta empat hari yang lalu.” Bi Zainab menjelaskan sambil bersiap menyeruput teh manisnya.

Aku ikut menikmati teh manis buatan bibiku ini. “Oh gitu yah,” jawabku. Hanya mangut-mangut mengerti.

“Nak, kamu dipanggil suamimu.” Tiba-tiba seseorang berkata dari belakang sambil menyentuh pundak bi Zainab lembut. Nenek. Perempuan yang mulai tua itu mengelus kepala bi Zainab penuh kasih sayang.

Bi Zainab mendongak menatap Nenek dengan senyuman. “Baik Bu, saya ke dalam ya,” ujarnya penuh kelembutan. Aku yang menyaksikan hanya bisa tersenyum haru. Betapa bi Zainab menyayangi nenek, mertuanya yang sudah sepuh ini.

Usai bi Zainab meninggalkan kami, Nenek duduk tepat di sampingku. “Afsa,” panggilnya. Seraya mengelus pucuk kepalaku yang tertutupi kerudung berwarna abu-abu.

Lihat selengkapnya