Oktober, 2019.
Salah satu hal yang paling menjengkelkan adalah ketika harus antre di belakang puluhan orang lainnya, menunggu sampai bosan meski waktu tak mau mengulur lebih lama, belum lagi saat salah satunya menerobos antrian—sengaja tak ingin antre di posisi paling belakang seperti lainnya, terkadang ingin sekali kutarik orang yang seringkali terobos antrian, membuat kesal saja, kalau sudah begitu waktu akan semakin lama. Aku hanya lelah, ingin lekas pulang ke rumah dan merebahkan tubuh di ranjang yang empuk, rebahan itu paling nikmat, bukan? Apalagi saat kondisi tubuh benar-benar penat di segala tempat, belum lagi beban pikiran yang masih merajai.
Aku bersidekap di belakang Nad, sebut saja namanya seperti itu. Dia keponakan teman dekatku, namanya Ami. Kami berbicara sepatah dua patah kata tentang pekerjaan, sampai entah apa itu—bagian belakang jilbabku—ditarik seseorang, membuatku refleks menoleh dan temukan laki-laki yang—maaf—dia pendek, bahkan lebih tinggi tubuhku darinya, saat itu kupasang ekspresi datar, wajah laki-laki itu seringkali terlihat, hilir-mudik bahkan suaranya terdengar memanggil tatkala aku melangkah lewati tempat produksi ke-lima, karena ia berada di bagian itu.
“Apa?” tanyaku seraya bersidekap, sungguh tak ingin mengurusi laki-laki yang tampangnya agak menyebalkan itu.
“Boleh minta nomornya, nggak, Teh? Ini tadi temenku yang nyuruh mintain nomor Teteh.”
“Nggak punya hp,” sahutku blak-blakan, aku memang tak memegang ponsel sejak tiga bulan terakhir—setelah tab yang kumiliki benar-benar rusak, orang counter mengatakan kalau benda itu tak bisa lagi diperbaiki—kecuali aku sudi menambah biaya, tapi maaf, lebih baik membeli yang baru ketimbang bolak-balik ke counter untuk membereskan masalah dari benda yang satu itu, pasalnya tak hanya sekali dua kali tab milikku rusak dan harus bertamu ke counter. Jadi, lebih baik melupakan urusan ponsel sejenak, lagipula aku sudah memesan ponsel pada Ami, meski membayarnya dengan cicilan.
“Jangan gitu lah, Teh. Ini serius teman yang minta.” Sialnya laki-laki itu kembali bicara, aku enggan menyahut dan langsung alihkan pandang. “Malah kayak jablai.” Aku mendelik tak percaya usai mendengar perkataan sarkastik itu, kutatap ia yang justru melangkah pergi, menerobos kerumunan hingga tiba di posisi paling depan, setelahnya menghilang di tempat parkir. Hinaan yang dia lontarkan benar-benar menohok relung, satu hal yang bahkan tak pernah kulakoni. Memangnya kapan dia melihat aku mangkal? Menjadi jablai? Fuck the shit, fuckboy!
***