Rafania masuk ke rumah dan segera menyiapkan makan malam untuk suaminya, meski Rafania sangat tahu, Regino tidak akan pernah menyentuh makanan yang dia masak. Namun, apa yang di lakukan Rafania adalah sesuatu yang memang di wajibkan dalam agama untuk melayani suami dengan sabar dan selalu menyiapkan makanan di atas meja.
Rafania memasukkan belanjaannya ke dalam kulkas dan memisahkan bahan-bahan yang akan ia masak.
Sebenarnya, Rafania mau pun Regino mampu menyewa asisten rumah tangga untuk rumah segedong ini. Namun, Rafania dan Regino tak ingin menyewa ART dan memperlihatkan hubungan mereka yang tidak pernah akur di mata orang lain.
Rafania memilih sop sayur, ayam krispy, sayur lode, gurame bakar, sambal pete, untuk menu makan malam.
Mendengarnya saja sudah menggiyurkan lidah. Namun, tidak untuk Regino. Makanan apa pun dan seenak apa pun itu, Regino tak akan menyentuh makanan yang di masak istrinya.
Suara ponsel Rafania terdengar, membuatnya merogoh tas bawaannya.
Winda is calling...
Rafania tersenyum.
"Hallo, As'salamualaikum?"
"Wa'alaikumssalam, ngapain, Nia?"
"Aku nggak ngapa-ngapain, kamu udah balik dari honeymoon?" tanya Rafania.
"Iya. Sekarang aku udah di Jakarta, aku ke rumah kamu, ya."
"Boleh. Aku tunggu."
"Ya udah. As'salamualaikum."
"Wa'alaikumssalam."
Rafania begitu tidak sabar menunggu kedatangan sahabatnya yang baru pulang dari Paris dalam rangka berbulan madu.
Rafania membuka kulkas dan melihat masih ada beberapa potong kue brownis juga pudding yang ia buat kemarin. Segeralah Rafania keluarkan dari kulkas. Sembari menunggu sahabatnya ia memotong beberapa bahan makanan yang akan dia masak.
Terdengar suara ketukan pintu, membuat Rafania bergegas membuka pintu rumahnya dan melihat wanita berhijab berdiri di depan pintu. Yang tak lain tak bukan adalah Winda, sahabatnya.
"As'salamualaikum," ucap Winda.
"Wa'alaikumssalam." Rafania memeluk sahabatnya dan mencipika-cipikinya. "Ayo masuk."
Rafania mempersilahkan sahabatnya masuk langsung ke dapur, kebetulan ia sedang memasak, jadi tak bisa di tinggal.
"Aku udah siapin teh hangat dan bebearpa cemilan di atas meja makan," kata Rafania. "Aku lagi masak, jadi nggak bisa ku tinggal masakanku. Kita ngobrol di dapur aja."
"Gimana kabarmu?" tanya Winda.
"Aku baik, Nda, kamu gimana?"
"Aku juga baik. Gimana dengan pernikahanmu? Masih gitu-gitu aja?" tanya Winda membuat Rafania sejenak menghentikan aktifitas irisannya. Lalu, kembali melanjutkan.
"Selama kamu pergi, nggak ada yang berubah," jawab Rafania.
"Apa kamu nggak bisa nyerah aja? Sampai kapan kamu harus seperti ini? Jujur, aku sejak tadi mikirin kamu loh." Winda memberi jeda. "Aku pengen tahu kabar kamu dan bagaimana pernikahanmu."
"Aku yakin, Allah akan menunjukkan jalannya buatku."
"Tapi, suamimu nggak akan pernah melihatmu ada karena dia terlalu terluka kehilangan Tania." Winda mengingatkan.
"Aku bisa apa lagi, Nda? Aku ingin mempertahankan pernikahanku sampai suatu saat nanti Allah memanggilku." Rafania menundukkan kepala.
"Jika suamimu masih tetap tak menganggapmu istrinya, kenapa kamu repot menyiapkan makanan? Dia juga nggak akan menyentuhnya."
"Apa kamu lupa? Istri adalah seorang wanita yang menjadi pendamping bagi suami yang sebelumnya telah di sahkan dalam sebuah ikatan pernikahan." Rafania memberi jeda beberapa detik, lalu melanjutkan. "Seorang istri erat dengan kewajibannya sebagai seseorang yang mengabdi, yakni melayani suami dalam segala keperluannya, menyediakan makanan untuk suami, meski di cicipi atau tidak," tambah Rafania, membuat Winda kagum pada sosok sahabatnya ini. Sahabat yang sudah banyak merubahnya.
"Aku heran saja, kenapa suamimu itu keras banget ya, setidaknya dia harus respeck karena kalian serumah. Atau, hatinya udah ketutup rapat?" Winda sembari mencicipi cemilan buatan sahabatnya.