Syahdan, berbeda dengan tengah malam sebelumnya, suara jangkrik saat itu tak hadir mengorek-orek gendang telinga. Sukisman duduk sendirian, terjebak dalam perangkap pikiran gelap yang menghantuinya sepekan ini. Ia adalah seorang suami sekaligus ayah, tapi malam itu, kehadiran keluarganya terasa jauh. Padahal anak dan istrinya tengah terlelap di kamar tidur yang hanya terhalang tembok dengan ruang tamu. Genggaman tangan kanannya menghunus golok yang biasa ia gunakan untuk menggorok sapi kurban. Sementara tangan kirinya mencengkram palu yang bau karatnya menusuk. Semua itu berbaur dengan aroma asap obat nyamuk bakar spiral hijau yang ia letakkan di sudut ruangan.
"Bret!" Lampu ruang tamu tiba-tiba mati. Gelap membungkus ruangan itu tanpa basa-basi. Namun, dari balik kaca jendela, Sukisman melihat sinar terang tetap menari-nari di rumah tetangganya, seolah-olah merayakan sesuatu yang akan menimpanya. Saat ia berdiri, wajahnya telah mengeras. Seluruh tenaga ia pusatkan pada palu dan golok dalam genggaman. Ia siap menghadapi rasa takut yang selama ini ia alami. Mata tajamnya terpaku pada tiga sosok yang tiba-tiba muncul di kegelapan. Pakaian serba hitam ketiga orang itu menyatu dengan cahaya lampu-lampu tetangga, menyerupai ninja yang hanya ada dalam cerita. Tetapi kenyataannya, mereka ada di sana, hadir di hadapannya. Kejadian buruk yang telah ia takutkan selama ini sepertinya akan segera memeluknya.