Ada satu prinsip yang Mira yakini sepanjang tiga puluh enam tahun hidupnya, yaitu tidak ada yang namanya kebetulan. Semua berjalan sesuai karma yang mengiringi dan bagaimana manusia menyikapi tanda-tanda yang terjadi pada semesta.
Ia mengambil napas panjang sambil memejamkan mata guna memusatkan pikiran. Bunyi berisik kipas AC sedikit membuatnya kesal, tapi tidak apa-apa, ia akan membereskannya nanti. Di hadapannya, layar laptop masih menyala, menampilkan laman yang memuat status media sosial dari akun bernama "Telordadarcabe". Baris pertama pada status tersebut berisi tulisan: X, please do your magic. Telah hilang kakak saya, terakhir dilihat tanggal 7 Agustus di sekitar perkebunan kelapa sawit Bukit Tunggal.
Setelah beberapa saat, Mira membuka mata lalu mengambil sebuah lilin aromaterapi beserta korek api gas dari laci meja. Ruangan seketika dipenuhi aroma mawar. Kursi putar yang ia duduki sedikit berbunyi saat ia menyadarkan punggung.
Untuk membaca tarot yang dibutuhkan olehnya adalah suasana nyaman. Karena alasan itulah ia melepas sepatu loafers merah marun miliknya dan menendangnya ke pinggir. Lantai yang dingin membuatnya rileks lebih cepat. Usai mengatur napas, ia meraih setumpuk kartu tarot dari rak mini di atas meja kerjanya dan mengocoknya secara horizontal, lalu membaginya menjadi dua bagian. Ia mengulangi kocokannya beberapa kali sampai kata hatinya memerintahkan untuk berhenti. Wanita itu lantas menyebar kartu-kartunya dalam satu garis lurus sebelum memilih tiga kartu secara acak. Sisa kartu yang lain ia sisihkan simpan kembali ke dalam rak.
Jantungnya berdebar melihat tiga kartu tertutup itu. Jari telunjuknya yang dihias cincin giok mengetuk-ngetuk pinggir meja seirama dengan detik jarum jam. Walaupun sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia tarot, akan selalu ada kekhawatiran tiap kali dirinya membaca garis hidup orang-orang di dekatnya. Sensasinya berbeda jika dibanding dengan memprediksi pertanyaan-pertanyaan dari klien.
Ia lalu merapal pertanyaan, “Apakah kasus hilangnya kakak dari akun Telordadarcabe bisa membantu mengobati trauma Uda Arai?”
Dalam satu tarikan napas ia membuka kartu-kartu tersebut tanpa jeda.
Kartu pertama, tergambar seorang wanita yang tengah duduk di atas kasur dengan sembilan pedang tergantung di dinding. Pada kartu kedua, terdapat gambar seorang gadis berjalan menuruni tangga dan meninggalkan delapan buah piala. Di kartu terakhir menampilkan sebuah roda dengan delapan arah mata angin.
Mira tersenyum simpul. Jawaban dari tarotnya cukup memuaskan.
Pada saat yang sama, pintu ruang kerjanya mendadak terbuka dan sekonyong-konyong seorang pemuda masuk tanpa permisi dan bertanya lantang, “Kerjaan yang Tante bilang di telepon beneran?”
“Rian, sudah Tante bilang berkali-kali kalau masuk salam dulu atau minimal ketuk pintu!” serunya geregetan.
“Ya, maaf.” Rian menyengir lebar, lalu duduk di salah satu kursi tamu yang terletak tepat di depan meja kerja Mira. “Jadi, apa kerjaannya?” tanyanya sambil mengambil stoples kecil penuh kue biji ketapang yang disediakan untuk tamu.
Bukannya menjawab, Mira menunjuk tiga kartu tarot berbeda di atas meja.
Si pemuda mengambil kartu itu dan mengamatinya satu per satu. Dengan mulut sibuk mengunyah ia bertanya, “Artinya apa, nih?”
“Ada orang yang butuh pertolongan Uda.”
“Masa?” tanya Rian kurang yakin.
Karena tidak suka diremehkan, Mira mencubit tangan keponakannya itu. “Kamu tuh, ya, kalau dibilangin jangan ngeyel. Taruh stoplesnya!”
“Ya, maaf.” Rian terkekeh-kekeh sembari menutup toples yang isinya sudah tinggal setengah.