Mencuri Tanah Kahyangan

Anisha Dayu
Chapter #3

PERMINTAAN

Tambuah ciek1, Da!”

“Uda, cincangnya sebungkus.”

“Ayam bakarnya dua lagi, Da.”

Suara-suara manusia kelaparan saling tumpang tindih. Denting sendok-garpu yang beradu dengan piring bersahut-sahutan. Kipas angin bobrok yang menempel di langit-langit terus-menerus mengeluarkan bunyi mirip baling-baling helikopter. Aroma daging bakar, cabai, beserta santan memenuhi ruangan. Dua orang pelayan lelaki mondar-mandir, meletakkan satu per satu pesanan yang seolah datang tanpa akhir. Biasanya, hari Sabtu di jam-jam setelah makan siang tidak pernah seramai ini.

“Gaduh betul. Pusing Uda lihatnya.”

Rian tertawa mendengar celetukan Arai. “Bersyukur dong, Uda. Restoran ramai artinya banyak uang. Jadi, Uda bisa cepet jadi sultan,” balasnya sembari menghitung lembaran uang dari mesin kasir. Sesekali ia melahap kue nagasari yang dibelinya selepas dari kantor Mira yang tepat berada di seberang jalan.

“Uda sudah tua, Rian. Indak2 sanggup kerja keras bagai kuda begini,” keluh lelaki itu sembari mengurut punggung. Ia menepuk salah satu karyawannya untuk menggantikan posisinya di palung3, kemudian duduk di sebelah Rian. “Kalau Uda daftar jadi sugar baby masih ada yang mau, nggak, ya?” tanyanya iseng.

“Idih. Idih.” Rian mencela. “Coba ngaca, Uda. Nggak ada yang mau kakek-kakek kayak Uda.”

Arai terbahak-bahak sebelum mencomot camilan milik Rian. “Oh iya lupa, Uda, kan, memang sudah lahir sebelum Jepang bikin romusha di sini, ya. Pastinya nggak ada yang mau jadikan Uda sugar baby,” sahutnya santai, mengabaikan Rian yang menggerutu karena kue nagasarinya dicuri.

Di saat yang sama, dari arah pintu, seorang perempuan muda berkacamata dengan rambut dikucir ekor kuda melangkah masuk setelah memarkir motor. Dengan tatapan tajam, ia memeriksa keadaan sekitar dan baru berhenti saat ia menemukan apa yang dicari. Ia bergegas berjalan menuju kasir di mana Arai dan Rian tengah berbincang. “Uda,” panggil perempuan itu.

Arai dan Rian menoleh bersamaan.

Onde mande.” Arai meletakkan pulpen yang tadi terselip di telinganya. Ia tersenyum lebar hingga kerutan di mata serta deretan giginya terlihat. Sementara itu Rian, yang tidak menyangka akan kedatangan tamu tak terduga, tanpa sadar menyuapkan semua kue nagasari yang tersisa ke mulutnya sampai tersedak dan terbatuk-batuk. Pemuda itu cepat-cepat menyambar sebotol air mineral dan menenggak isinya dengan rakus.

Baa kaba4, Yana? Lama Uda tak jumpa kau, nih,” sapa Arai sambil cengengesan. “Ada apa main ke sini? Mau sebar undangan, kah? Cie, yang mau menikah.”

Yang disapa sama sekali tidak tersenyum, membuat Rian spontan menyikut perut Arai.

“Boleh kita bicara, Uda?” tanya perempuan itu dengan nada serius.

Arai berdeham dan tersenyum kikuk. “Ah, kalua wak nah. Bicara di luar aja. Mumpung waktunya Uda istirahat,” katanya sembari melepas celemek kusam yang dikenakannya, lalu mempersilakan perempuan itu untuk berjalan lebih dulu.

Sebelum Arai mengikuti perempuan itu, Rian sudah lebih dulu menahannya dan berbisik. “Mau ngapain Mbak Yana ke sini? Uda pinjam uang sama dia sekarang? Uda ditipu sama siapa lagi? Aku laporin ke Tante Mira, nih.”

“Eh, sembarangan!” Arai menampar pelan tengkuk Rian sampai si pemuda mengaduh keras dan bergumam, ‘Bercanda, Uda!’.

“Uda memang punya hutang sampai mati sama orang tuanya. Tapi kayaknya Yana kemari bukan karena itu. Karena apa, ya?” lanjut Arai. Tiga garis kerutan di dahinya muncul akibat berpikir keras.

Di ambang pintu, perempuan itu berhenti karena menyadari Arai tidak ada di belakangnya. Ia berbalik, menghela napas, dan memberi isyarat agar Arai segera menyusul.

Arai pun membalas dengan anggukan kecil dan menyahut "oke" tanpa suara.

Lihat selengkapnya