Mencuri Tanah Kahyangan

Anisha Dayu
Chapter #4

PROPOSAL

Jakarta, 1987

Deru RX King membelah keramaian di depa Pasar Elang. Motor itu kemudian berhenti di depan warung nasi. Di atas jok, seorang lelaki melepaskan helm, dan menyapu rambut gondrongnya ke belakang.

“Mampir sini, Roy!” sapa si ibu pemilik warung.

Arai, yang di tahun itu menggunakan nama Roy, melambai. “Nanti aja, Tan,” ujarnya. Sebelum pergi, ia sempat melempar kedipan genit pada anak gadis pemilik warung yang langsung menunduk malu.

Sambil mengunyah permen karet, lelaki itu berjalan melewati deretan penjual pakaian dan perabot. Lagu "Singkong dan Keju" bercampur dengan klakson metromini di sepanjang jalan. Ia menyebrang santai tanpa memedulikan kericuhan di depan di mana supir mikrolet dan tukang becak tengah berkelahi.

“Ganjen! Punya pacar tiga tapi masih lirik sana-sini.” Suara cempreng dari samping menyapa. Roy menoleh dan menemukan Ahen alias Herry, si remaja kurus dan berkacamata yang sudah akrab dengannya.

“Terus, masalahnya di mana? Selagi muda harus dimanfaatkan,” sahut Roy sambil menyerengeh.

Si remaja mendadak berhenti dan berbalik. “Aku bilangin pacar-pacarnya Om, ya.”

“Nggak, Ahen, nggak. Om cuma bercanda tadi.” Roy cepat-cepat menarik lengan kemeja flanel yang dikenakan si remaja dan mengganti topik pembicaraan. “Jadi, apa kerjaan dari bapakmu kali ini?”

Herry menunjuk gedung bioskop dengan dagu. “Orang yang mau kasih kerjaan nunggu di sana.”

“Kenapa harus ketemuan di bioskop? Di tempat biasa kan bisa? Memangnya bapakmu ke mana?” Roy penasaran. Bukan sekali dua kali ia bekerja dengan Eddy, ayahnya Herry. Biasanya untuk membicarakan ‘bisnis’, mereka akan bertemu di sebuah kedai es krim yang telah menjadi langganan Eddy sejak lama.

Si remaja mengangkat bahu. “Papi lagi ke kantor cabang, jadinya aku yang wakilkan.”

“Sendirian?”

“Sama Didit.”

Roy celingukan mencari sosok pemuda yang disebutkan Herry tadi. “Ke mana itu bocah?”

“Di mobil. Katanya malas ketemu Om.”

Roy berusaha menahan tawanya. Pasalnya dia yakin Didit masih punya dendam padanya karena dia pernah menipu pemuda itu tempo hari. Baru saja ia ingin bertanya lagi, Herry sudah buru-buru menyela.

“Om bawel banyak tanya. Nih, karcis fim sudah dibeli klien. Sayang kalau nggak dipakai, kan?” Bocah itu memberikan salah satu tiket pada Roy. “Aku duluan, Om. Mau cari bangku,” katanya sebelum berlari mendahului Roy untuk masuk ke bioskop itu.

Di depan gedung bioskop, Roy melihat poster besar bergambar Amitabh Bachchan, aktor India kesukaan Herry. Ia langsung paham kenapa bocah itu menyarankan mereka bertemu di sini. “Dasar bocah.”

Di depan loket karcis antrian mengular sampai kantin. Roy menyerahkan tiketnya pada petugas ogah-ogahan, lalu masuk studio yang masih terang benderang. Lelaki itu kemudian mengecek jam tangannya. Pukul empat lebih empat puluh. Masih ada dua puluh menit sebelum film diputar tapi bangku sudah terisi penuh. Bahkan di deretan atas orang-orang yang membeli tiket dari calo sudah siap dengan posisi masing-masing.

Herry melambai. Bocah itu tersenyum bangga hingga matanya yang sipit jadi hilang karena berhasil menduduki bangku di deretan tengah.

Roy pun menempati satu kursi kosong di sebelah kanan Herry yang sengaja disisakan untuknya. “Berantem sama siapa kamu sampai bisa dapat kursi strategis begini?”

“Tuh.” Herry menunjuk gerombolan gadis-gadis pabrik yang duduk deretan bangku paling atas. Roy melongo. Hebat betul.

“Halo, Bang.” Pemuda yang duduk di sebelah kiri Herry bersuara.

“Klien kita,” ujar Herry memperkenalkan. “Salah satu mahasiswa arkeologi.”

“Masa? Saya kira masih kelas tiga SMP,” celetuk Roy sambil menyodorkan tangan. “Siapa namanya?”

Lihat selengkapnya