Eddy tertawa terbahak-bahak. “Lucu nih, Om. Untung gua sudah selesai makan.” Pria itu lantas membuang tisu bekas pakainya ke atas piring. “Pekerjaan ini cincai, lah buat lu. Cuma tinggal tunjukin jalan ke mahasiswa-mahasiswa itu, temenin mereka sampai selesai, terus pulang.”
“Gue lagi nggak ngelucu, Jale! Gue cuma pernah dua kali ke sana. Itu juga bawa turis dan kita nggak mendaki sampai puncak, cuma di lereng aja.” Roy melipat tangannya di depan dada. “Sepemahaman gue, Gunung Bondang kosong. Bahkan nggak ada jejak historisnya dari zaman prasejarah. Bahkan pas gue masih jadi kacung Jepang, mereka nggak pernah tertarik buat menjelajah gunung itu. Mau cari apa di sana? Kalau mereka anak-anak kehutanan, paling nggak, gue percaya mereka ke sana mau belajar,” jelasnya, tapi entah ini cuma perasaannya atau apa, Eddy sedari tadi terlihat enggan melakukan kontak mata dengannya.
Eddy menenggak es teh miliknya sampai habis sebelum berkata, "Om, coba ingat-ingat, dari pertama kali lu melakukan pekerjaan ini, berapa gunung dan laut di Indonesia yang belum pernah lu datangi? Hampir nggak ada. Semua tempat itu punya cerita mitos angker dan Om berhasil melewatinya. Jadi, nggak perlu lu takut."
“Gue bukannya takut, Jale! Tapi ....” Roy pura-pura batuk. “Ya, lo paham, lah.”
Mengikuti Roy, Eddy ikut melipat tangan di dada serta menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Kata Ahen, lu mau minta tambah bayaran? Gua tambahin tiga kali lipat, deal?”
Roy menunjukkan tujuh jarinya. “Segini atau nggak berangkat. Lo bisa cari pemburu harta karun atau guide lain buat nunjukin jalan.”
“Lima, lah.” Eddy menawar. “Sudah dua generasi keluarga gua kerja sama lu. Gue tahu banget skill lu itu nggak bisa ditandingi sama penjarah lain. Apalagi sama guide lokal biasa. Gua bisa bilang, lu setara sepuluh orang lokal sana! Percaya sama gua.”
Hidung Roy kembang-kempis mendengar pujian Eddy. Sambil menahan cengiran, ia membalas, “Gue kasih enam lima, deh. Jangan dikorting lagi.”
Ada jeda sejenak. Eddy mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Setelah beberapa menit, akhirnya berkata, “Oke. Enam lima.”
Roy seketika menggebrak meja. “Aduh, emang lo bapak-anak berdua yang terbaik, deh. Kamsia1. Kamsia.” Lelaki itu menyengir lebar. Meskipun pada kenyataanya, diam-diam dia mengamati gerak-gerik Eddy dan dia berkesimpulan bahwa ada yang disembunyikannya. Apakah ada hubungannya dengan mitos tana malai tolung lingu itu? Ia hanya pernah sekilas mendengar cerita ini dari mulut ke mulut ketika ia bertugas sebagai sameo konan hokokudan.
Yang ia tahu, di awal abad keenam belas, seorang penjelajah Italia bernama Ludovico di Varthema pernah datang ke Kalimantan. Dia mencatat ada sebuah rempah yang ampuh menyembuhkan penyakit mabuk laut salah satu anggotanya. Mabuk laut ini awalnya tidak bisa disembuhkan oleh obat mana pun. Kemudian, di pertengahan abad sembilan belas, rempah tersebut dibicarakan lagi di catatan Ida Pfieffer, seorang pelancong perempuan pertama dari Austria. Perempuan ini menjelaskan bahwa rempah itu adalah obat paling mujarab yang mungkin bahkan bisa menyembuhkan demam kuning. Sudah pasti rempah yang dimaksud keduanya adalah tana malai tolung lingu.
Roy tidak mengerti. Jika tana malai tolung lingu begini mujarab, mengapa dulu orang-orang Jepang, yang notabene saat itu tengah gencar melakukan eksperimen, tidak tertarik menyelidikinya? Sungguh aneh.
“Oh, ya, Om, gua hampir lupa. Lu pergi ekspedisi bisa ajak Didit. Biar itu anak bisa belajar,” cetus Eddy memecah keheningan yang beberapa saat lalu menenggelamkan mereka berdua.
“Kenapa harus Didit?” Roy mengusap wajah dan mendengkus geli. “Itu anak masih ngambek sama gue. Kemarin waktu nganterin Herry ketemu gue di bioskop, lihat muka gue aja dia ogah.”
Jadi, ini semua bermula sepulang dari perjalanannya mengangkat kapal karam bermuatan harta karun di perairan Selayar dua minggu lalu. Didit yang tengah bermain bersama Wiwiek, anjing pitbull peliharaan Herry, bertanya apakah dirinya membawa oleh-oleh dan Roy menjawab sarabba2 di tas.
Ketika Didit memeriksa tasnya, bocah itu menemukan dua botol plastik berbentuk robot berwarna biru dan abu-abu. Dengan bodohnya Didit mengambil botol warna biru.
Melihat hal itu, Roy yang baru saja melapor pada Eddy langsung berteriak dan menyambar botol tersebut. Dia menjelaskan bahwa sarabba sebenarnya ada di botol berwarna abu-abu, sementara botol biru itu adalah berisi air kencingnya yang lupa ia buang. Sambil menahan tawa, lelaki itu pun menasihati Didit agar tidak hanya mengandalkan insting saat mengambil keputusan dan selalu bertanya lebih dulu sebelum menerima makanan atau minuman dari orang lain.
Mendengar penjelasan Roy, Eddy pun terbahak-bahak.