Mencuri Tanah Kahyangan

Anisha Dayu
Chapter #9

MATA-MATA

Elin meremas botol air mineral yang isinya tinggal setengah, kemudian memandang perempuan di hadapannya beserta Rian bergantian. Usai mendengar penjelasan perempuan itu, kepalanya mendadak korslet.

Perempuan itu yang mengaku bernama Isyana itu bilang ketika dia baru sampai, keadaaan rumahnya sudah seperti kapal pecah. Jarak antara kedatangannya dengan Isyana juga hanya berbeda sepuluh menit. Jadi ... jadi siapa yang membuat rumahnya jadi kapal pecah begitu?

“Kamu yakin kamu nggak punya musuh, Elin?” tanya Isyana lagi untuk memastikan sesuatu.

Elin menggeleng. “Aku nggak tahu, Kak. Setahu aku, aku nggak pernah punya musuh di sekolah.”

Dahi Isyana berkerut. “Saya yakin ini perbuatan sekelompok orang yang berniat jahat,” katanya, yang disetujui oleh Rian. Pemuda itu telah memeriksa kunci pintu dan menemukan bahwa pintu rumahnya dicongkel paksa.

Mendengar ucapan Isyana, rasanya Elin seketika menangis.

Melihat Elin yang terisak-isak, Rian terperanjat kaget. Pasalnya, saat ini mereka bertiga tengah berada di pelataran minimarket di depan rusun yang ramai. “Mbak Yana, aduh, ini bagaimana?” bisiknya tanpa suara pada Isyana.

“Aku salah apa, sih? Kenapa rumahku dibobol maling begitu? Memangnya apa yang mau dicari? Perhiasan aja aku nggak punya!” kata Elin disela-sela tangis.

Sebagai orang dewasa satu-satunya di sana, Isyana berinisiatif memeluk Elin untuk menenangkannya, walaupun dia sendiri kurang yakin apakah tindakannya ini berhasil atau tidak.

“Abangku nggak tahu ada di mana, terus rumahku dirusak. Sekarang aku harus apa?” lanjut Elin yang di antara ceguk dan sedu.

“Ada saya yang bakal bantu kamu.” Isyana kemudian melepaskan pelukannya. Ia menatap Elin dalam-dalam. “Tapi, kamu harus bantu saya dulu.”

Elin menerima tisu dari Rian untuk menyusut ingus dan berkata, “Bantu apa, Kak?”

“Kamu bilang abang kamu hilang. Abang kamu namanya Alan Irawan, bukan?”

Ibarat lampu yag baru dinyalakan, wajah Elin yang tadi mendung jadi berseri-seri. “Kakak tahu Abangku di mana?”

Isyana tersenyum kecil. “Untuk saat ini saya belum tahu.”

Mendengar penuturan perempuan itu, wajah Elin murung kembali.

“Tapi mungkin saya bisa bantu kamu untuk cari Abangmu itu.”

“Serius, Kak?”                              

Isyana mengangguk. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas yang tercetak tiga foto di atasnya. “Coba lihat ini. Kakak boleh tahu kakak kamu yang mana?”

Elin menerima kertas yang diberikan Isyana dengan tangan gemetar. “Yang ini,” jawabnya seraya menunjuk pemuda berambut ikal pendek yang berdiri diapit dua pemuda lain yang saling merangkul.

“Kamu kenal nggak sama dua orang di sebelah kakakmu itu?”

Anak perempuan itu mengangguk ragu, tapi kemudian ia cepat-cepat mengoreksi jawabannya dengan gelengan. “Aku cuma pernah lihat mereka sekali main ke rumah sebelum Abang berangkat ke Kalimantan. Memangnya kenapa, Kak?”

Isyana akhirnya menjelaskan kedatangannya kemari. Tadinya ia ingin bertemu Elin untuk membahas soal kakaknya, tetapi sesuatu tak terduga malah terjadi. Perempuan itu juga memberitahu ia adalah orang yang juga tengah mencari orang, yang terindikasi kuat, hilang bersamaan dengan raibnya Alan.

“Gunung Bondang?” tanya anak perempuan itu bingung.

Lihat selengkapnya