Dengan cekatan Windah berpindah dari rak satu ke rak lain, mengambil botol-botol plastik putih berisi cairan kimia, dan kembali ke meja untuk mencampurkan semua bahan itu menjadi cairan pembersih. Setengah wajah pemuda itu tertutup masker medis. Dahinya mengerut ketika mencampurkan dolomit1, spirtus, dan air suling ke dalam gelas kimia berukuran setengah liter. Selain untuk membersihkan patung dari deposit2 yang menempel, campuran juga ini berguna untuk mempertahankan patina3.
Patina pada benda antik yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun merupakan faktor terpenting dalam penilaian benda pubakala. Jika lapisan patina itu rusak atau terkelupas, maka sudah bisa dipastikan nilai kepurbakalaannya akan merosot sehingga nilai jual benda tersebut akan jatuh meskipun benda itu memang benar-benar artefak asli.
Dalam dunia barang antik, ada banyak hal yang harus dipelajari bagi siapa pun yang ingin terjun di bisnis ini, terutama soal pemalsuan. Kebanyakan artefak palsu atau replika yang selama ini banyak Arai temukan adalah benda-benda yang terbuat dari logam seperti kuningan, perunggu, atau tembaga.
Membuat artefak palsu, terutama perunggu, sesungguhnya bukan perkara mudah. Namun, para pemalsu itu punya trik khusus yang bisa membuat benda baru tampak layaknya artefak kuno. Salah satu metode yang sering digunakan adalah dengam meniru tanda-tanda penuaan alami dengan menciptakan patina.
Lapisan patina yang berasal dari campur tangan manusia dihasilkan dengan mencelupkan benda perunggu di larutan amonia atau asam cuka. Dua bahan kimia tersebut dapat mempercepat proses oksidasi. Dalam beberapa kasus, artefak palsu akan dikubur di tanah lembap yang kaya akan mineral selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk membentuk korosi.
Arai juga sering menemukan artefak logam palsu dengan retak rambut buatan yang diciptakan dengan cara memanaskan benda di suhu tinggi kemudian mendinginkannya secara tiba-tiba. Retak rambut pada permukaan benda ini diharapkan akan menipu para kolektor benda antik. Akan tetapi bagi dirinya serta pemain yang telah banyak makan asam garam dalam bisnis ini, hanya dengan sekali lihat mereka bisa dengan mudah membedakan mana retak rambut asli dan buatan.
Selain retakan, beberapa pemalsu yang cukup pintar bahkan mencoba meniru metode perbaikan kuno dengan cara menambahkan patri di beberapa bagian sehingga menghasilkan ilusi bahwa benda palsu itu pernah diperbaiki di masa lalu.
Ada satu metode paling konyol yang pernah Arai temui dibanding tiga metode lain, yaitu dengan menggosokkan tanah mengandung mineral dari tanah asli situs arkeologi pada permukaan artefak palsu agar uji karbon menunjukkan jejak usia yang tepat.
Lelaki itu tidak berhenti bersiul sewaktu mengoleskan patung dengan campuran bahan kimia yang dibuat Windah sebelum menyikatnya dengan sikat gigi berbulu halus. Di beberapa bagian yang susah dijangkau oleh sikat, potongan gading bisa jadi penyelamat guna mencongkel lapisan sedimen tanah, terutama di sudut yang meliuk tajam. Usai dibersihkan patung itu dilap dengan kain fiber halus.
Karena ditemukan di sungai Musi, patung Buddha ini Arai taksir berasal dari sebelum abad ketujuh dan kemungkinan besar berasal dari prototipe Kedatuan Sriwijaya, yang berpusat di Palembang4. Ia memperhatikan detail pada wajah patung. Mata yang memanjang serta tulang hidung yang tajam menunjukkan adanya pengaruh seni India Utara.
“Menurutmu, style patung ini dari mana?” tanya Arai.
“Dvaravati5?” tebak Windah ketika Arai mengusap salah satu tangan patung. Kedua tangan patung itu dalam posisi mudra vitarka6. “Tapi setahuku patung era itu cuma tangan kanan yang dalam posisi mudra vitarka, terus kenapa ini dua-duanya?”
Arai menggaruk dagunya. “Hmm ... bisa jadi si pematung ini punya kreativitas sendiri?”
Windah mendekatkan wajahnya ke patung. “Ada dua hal yang aku nggak paham. Pertama, lekukan rambut ikal ini besar-besar, mirip patung dari Gandhara7.” Pemuda itu lantas menunjuk tonjolan di tengah dahi Buddha. “Ushnisha di sini juga nggak terlalu tinggi dan lumayan besar. Kira-kira, ciri khas dari mana, Uda?”
“Abad keenam dari Kedah8.”
Pemuda berambut pirang itu mengusap jubah patung beserta lipatan di dada dan punggungnya dan naik ke tiga lipatan di leher, yang berarti simbol kebijaksanaan dan kedewasaan.
Arai kemudian menyalakan lampu UV. Cahaya ungu kebiruan menyinari permukaan patung perunggu yang telah dibersihkan. Tidak ada kilap mencurigakan atau pantulan dari bahan modern.
Windah menyerahkan jarum kepada Arai tanpa diminta. Dengan hati-hati lelaki itu menggores bagian tersembunyi di dasar patung dengan jarum yang telah disterilisasi. Tidak ada perubahan signifikan.
Arai tersenyum puas. Jika patung ini palsu, goresan kecil seharusnya menembus dan akan mengungkap logam di bawahnya, tapi saat ini yang terlihat hanyalah lapisan oksida yang padat dan kasar, ditambah patina berwarna hijau kebiru-biruan itu benar-benar menyatu erat pada permukaan sebagai bukti bahwa patung ini memiliki korosi alami selama ratusan tahun.