Saat itu sore hari tanggal 30 September 2017. Aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Aku diantarkan ke bandara Sultan Iskandar Muda oleh adik dan seorang sahabat karib.
Sembari menanti keberangkatan kami minum teh dingin di warung kopi yang terletak persis di samping parkiran motor, dan membahas kejadian-kejadian terkini dalam kehidupan yang menyedihkan ini.
Arip tengah menggerutu karena ia terpaksa meninggalkan pekerjaannya sebagai manajer di salah satu hotel di Banda Aceh dan menjadi buruh di pasar sayur Seutui. Ia mengeluhkan betapa buruknya upah yang di terimanya di tempat tersebut.
Aku juga terpaksa keluar daerah tetapi, berbeda dengannya, aku senang meninggalkan semua ini. Karena aku seorang pemimpi dan berjiwa bebas; aku sudah terlalu muak dengan kuliah sastra arab, skripsi, wisuda, dan berbagai ujian-ujian. Sedangkan hatiku tak dapat dipungkiri, meski dikekang ia masih tetap hidup untuk memepertahankan cintanya terhadap seni rupa.