Sudah tiga minggu aku hidup bersama Ikhwan menumpang di kampusnya, semakin hari semakin aku mengetahui karakteristik temanku ini.
Apa yang ia ucapkan berbeda jauh dengan apa yang ia lakukan. Sejak pameran seni pertama yang ternyata ia adakan di sebuah club malam kepunyaan orang Jepang yang sudah ber-KTP Indonesia itu (Mondo Jkt), kita sama sekali belum melakukan hal lain selain makan, merokok, mabuk, dan tertawa, padahal bukan ini tujuan yang aku cari.
Hati kecilku berkata; buat apa kutempuh sejauh ini kalau hanya untuk melakukan hal-hal yang sama sekali tak berarti.
Sungguh, catatan perjalanan ini bukanlah untuk menceritakan hari-hari di Jakarta dimana aku semakin menjauh dari kehidupanku yang biasanya, karena tujuanku kesini untuk mengembangkan bakat, memperbaiki finansial. Bukan untuk membuat diri menjadi semakin terpuruk.
Perjalananku semakin tak pasti, aku merasa terperangkap dalam kepompong, takluk pada kata-kata janji dan ikatan yang dibuat oleh manusia yang sama sekali tak mempunyai intergritas terhadap apa yang sudah terlontar dari mulut manisnya.
Aku merasakan bahaya dan telah membayangkan diriku sendirian berdiri ditengah jalanan besar yang ramai dengan kendaraan, namun tak satupun suara yang dapat ku dengar.