“Dokter? Bagaimana keadaan istri saya?”Seorang pria bersetelan kemeja yang sudah tidak rapi, tergopoh-gopoh menghampiri seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.Tampak pria itu terlihat begitu cemas menunggu jawaban dari dokter tentang kondisi istri tercintanya.“Seperti yang sudah Bapak ketahui, di mulut rahim pasien tumbuh sejenis polip yang bisa menghambat pembuahan. Kemungkinan kehamilan ini tergolong sulit mengingat pasien juga memiliki riwayat penyakit jantung. Bapak tenang saja, polip ini tidak tergolong berbahaya dan bisa sembuh sendiri,” kata dokter itu menerangkan dengan jelas.
Pria bersetelan jas itu bernama Aris Sujatmiko. Rasanya bagai tersambar petir di siang bolong. Walau dokter tidak menejlaskan secara gamblang, tetapi Aris mengerti bahwa kehamilan istrinya ini sangat membahayakan jiwanya. Sementara Windy, sang istri, menghadapi kenyataan ini dengan tersenyum, meskipun tubuhnya kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Bukan hanya sekali atau dua kali sang istri keluar masuk rumah sakit selama masa kehamilannya melalui program inseminasi buatan. Di usia kehamilannya yang memasuki enam belas minggu, Windy masuk rumah sakit lagi karena dehidrasi dan vertigo yang dialaminya.
***
Aris langsung bergegas menuju rumah sakit begitu mendapat kabar dari ibu mertuanya, bahwa Windy kembali dilarikan ke rumah sakit. Tanpa memperdulikan agenda rapat penting yang baru saja dimulai. Sebagai suami siaga, kesehatan istrinya menjadi prioritasnya saat ini.
Aris amat sangat mencintai istrinya. Melihat Windy kepayahan dan selalu muntah-muntah selama masa kehamilan membuat dirinya merasa bersalah, apalagi begitu melihat sang istri kembali terbaring lemah dengan selang infusan menancap di punggung tangannya.
“Kamu sudah bangun, sayang?” Aris menggenggam erat dan mencium punggung tangan windy.
“Kamu menangis?” Windy bertanya dengan suara parau. Mendapati jejak butiran bening di sudut mata elang suaminya.
Saat Windy masih terbaring lemah, Aris langsung menangis di samping istrinya. Melihat wajah cantik bidadari hatinya kini pucat pasi, ia tidak tega. Tiba-tiba saja Windy terbangun dan terkejut melihat Aris menangis, lantas, ia langsung menghapus air mata Aris.
“Maaf, karena aku kamu jadi begini.”
Aris menunduk tidak berani menatap wajah istrinya.
“Sayang, jangan berkata seperti itu. Aku nggak apa-apa, kok. Lihat aku bahagia banget karena sebentar lagi anak kita akan lahir,” ucapnya tersenyum lebar. Meyakinkan kepada suami paling hebat di hadapannya bahwa ia baik-baik saja.
Aris menenggelamkan kepalanya di dada Windy terperangah mendengarnya. Aris menatap lekat-lekat kedua bala bulat nan indah itu, bola mata yang selalu membuatnya selalu jatuh cinta setiap hari. Aris tahu, istrinya sedang berbohong.
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Sampai pada akhirnya Aris tidak sanggup lagi untuk menahan rasa sakit di rongga dadanya. Menahan rasa sakit yang selama ini ia pendam, menahan supaya Windy tidak mengetahuinya. Walau ditahan bagaimanapun juga, air mata itu pada akhirnya tidak dapat tertahan lagi.
“Gugurkan saja kandunganmu itu,” kata Aris tiba-tiba.
Sontak saja hal itu membuat Windy terkejut membelalakkan mata mendengar Aris mengatakan hal seperti itu.
“Astaghfirullah! Istighfar, sayang … Istighfar….”
Aris menunduk dan terus menggenggam erat tangan Windy dengan berderai air mata.
“Aku nggak sanggup lagi, aku nggak tega melihatmu menderita seperti ini. Aku juga nggak sanggup kehilanganmu. Kamu segalanya bagiku dan aku bisa bertahan sampai sejauh ini karenamu. Kalau bukan tanpamu mungkin sekarang aku masih terjebak dalam jurang hitam itu. Kamu tahu, kan?”