Mila meluruskan kakinya. Tinggal dua santriwati yang mengantri untuk disimak. Sejak mengimami santri putri karena Bu Nyai sedang tidak enak badan, Mila lanjut menyimak hafalan santri-santri yang juga merupakan adik-adik pondoknya. Ning Arina yang merupakan menantu Bu Nyai sedang berhalangan. Jadi, Mila yang menggantikan tugas Bu Nyai. Akhir-akhir ini, kondisi kesehatan Bu Nyai memang sering menurun. Itu artinya, Mila lebih sering berada di kamar Bu Nyai untuk menemani beliau di kamar, daripada berada di kamarnya sendiri.
Dini hari tadi setelah shalat tahajud, Bu Nyai memanggil Mila dan menyuruh perempuan berusia 32 tahun itu untuk menggantikannya mengimami santriwati di mushala barat. Sementara itu, Abah Yai atau Gus Khaidar, atau kadang-kadang Kang Mujab akan mengampu pengajian Al Quran di mushala Timur. Kompleks pondok putra dan putri memang berdampingan. Meski begitu, antara santri putra dan santri putri sangat jarang terjadi interaksi, kecuali komunikasi yang dilakukan di kampus, atau di luar kompleks pondok.
Setelah tidak ada santri lagi yang menghadap padanya, Mila segera melipat sajadah dan menuju kamar Bu Nyai. Ia melewati beberapa kamar santri, untuk selanjutnya melewati lorong sepanjang satu meter. Tidak semua santri diizinkan melewati lorong ini, karena lorong ini adalah jalan menuju kamar Bu Nyai. Kamar bersih dan beraroma melati itu terbuka lebar. Kasur busa tanpa dipan terhampar. Wajah teduh Bu Nyai tertangkap penuh oleh lensa mata Mila. Mila segera merendahkan tubuhnya, meletakkan lututnya ke lantai, berpindah merayap pelan, dan mengecup tangan gurunya. Bu Nyai segera menutup mushaf, dan menepuk kasur di dekatnya.
"Reneo, Mil."
"Njih, Buk."