"Ayo, Mil." Ibuk mengetuk pintu kamar Mila. Mila yang sedang memasang bros di jilbab hijau toscanya segera bergegas membuka pintu.
"Njih, Ibuk."
Mila keluar dari kamar dengan agak tergesa. Setelah menyimak hafalan tambahan dari para santri sejak usai maghrib tadi, Mila merasa agak mual. Jadi, ia rebahan di kamar. Ia hampir lupa, Ibu dan Abah mengajaknya pergi ke luar.
Di belakang Ibuk, Mila berjalan pelan. Abah Yai tampak sudah siap dengan sarung dan hem panjang, juga peci hitam. Bertiga, mereka melewati beberapa kamar pengurus pondok. Mila segera berjalan ke depan, begitu Abah dan Ibuk mendekati pintu. Dengan tangkas, Mila mengubah arah dudukan sandal Ibuk dan Abah Yai. Setelah itu, ia segera berjalan menyusul.
"Mbak, Ikut, Meh ke mana?" Tanya suara dari dalam kamar di dekat pintu keluar.
Mila menengok ke arah Chilya, gadis pelajar yang selalu ramah kepada siapa saja.
"Melu po?" Tanya Abah Yai.
"Heee. Mboten, Bah," ujar Chilya spontan ketika tahu ada Abah Yai.
"Mbak Miil. Nggak bilang kalau ada Abah."
Chilya yang memang merupakan remaja itu setengah merajuk kepada Mila. Mila hanya melempar senyum. Dari jendela kamar, terlihat wajah Chilya bersapu bedak tipis, hendak berangkat ke kelas diniah malam hari.
Sesampai di depan ndalem, mobil berwarna putih sudah dalam kondisi siap. Mila segera membukakan pintu untuk Ibuk. Di depannya, seorang lelaki membukakan pintu untuk Abah. Mila tahu, siapa lelaki itu. Lelaki kepercayaan Abah yang sering memberikan pertolongan-pertolongan kecil untuk dirinya.
Di dekat Ibu, Mila menatap pemandangan di luar. Kilau cahaya dari luar tampak indah, karena tak ada silau yang ia tangkap.
"Mil."
Abah Yai membuka percakapan. Ibuk sedang asyik men-scroll WAG Jamiyah deresan sesama alumni di pondoknya.